Oleh: Izza Rohman Nahrowi
Syahdan, seorang Bani Israil telah membunuh 99 orang. Ia hendak mencari orang paling alim. Ia pun ditunjukkan kepada seorang rahib. Di hadapan rahib ini, ia bercerita bagaimana ia telah membunuh 99 orang, dan bertanya apakah masih ada peluang bertobat baginya. “Wah, tidak,” tukas sang rahib. Saking kesalnya, pemuda itu pun langsung membunuh sang rahib, maka korbannya genaplah 100.
Ia beralih mencari alim yang lain. Seseorang menyarankannya untuk menjumpai seorang kiai. Lagi ia menuturkan kemaksiatan yang telah ia lakukan. Ia lantas menanyakan apakah kira-kira Allah masih akan berkenan memberinya ampunan. “Mengapa tidak,” jawab sang kiai, “Tak ada yang menghalangimu. Pergilah ke tempat ibadah sana. Dan jangan kembali ke negerimu.” Sedikit bersenang hati, si pemuda itu pun bergegas melangkahkan kaki menuju (katakanlah) “masjid” yang dimaksud. Namun, ternyata ia menemui ajalnya di tengah perjalanannya. Malaikat rahmat dan malaikat azab pun berselisih pendapat. “Ia telah bermaksud bertobat dan memalingkan hatinya kepada Allah,” kata malaikat rahmat. “Oh, tidak. Ia sama sekali belum pernah melakukan kebaikan,” kilah malaikat azab. Maka, Allah pun menengahi keduanya, “Ukurlah jarak antara tempat ia meninggal dan negeri tempat ia bermaksiat, juga jarak antara tempat ia meninggal dan masjid tempat ia hendak bertobat. Mana yang lebih dekat?” Ternyata, lokasi kematiannya sehasta lebih dekat ke masjid yang ditujunya. Maka, malaikat rahmat pun berhak membawanya.
Menyadari kalau diri telah penuh terlumuri maksiat bukanlah perasaan yang mengenakkan. Yang segera hinggap umumnya ialah keputusasaan. Melihat semuanya telah terlanjur dan tak bisa diperbaiki. Masa lalu tampak sedemikian buruk, tapi sayangnya tak bisa diulang. Kejahatan yang telah diulang-ulang seolah memenuh-sesakkan ruang batin ini. Apalagi bila pada masa lalu seseorang juga telah mencoba berkali-kali
memperbaiki dirinya namun selalu saja gagal, tentu patah-harapannya bisa menjadi-jadi. Rasa-rasanya segalanya telah terlambat!
Akan tetapi, memadamkan harapan sepertinya tidaklah memecahkan masalah. Masalahnya bisa teratasi justru bila secercah harapan hadir pada saat-saat demikian. Tidaklah baik, sebagaimana yang rahib tadi lakukan, untuk menutup rapat-rapat pemahaman bahwa Tuhan Maha Pengampun, bahwa betapapun Dia adil, Dia memiliki kemurahan yang tiada terhingga.
Kisah seperti tadilah yang ternyata justru mengetuk hati seorang Inneke Koesherawati, membuatnya merenungkan sisi kerohaniannya dan tergerak memperbaikinya. Beberapa orang merasa enggan melangkah memperbaiki maqam keberagamaannya dengan peringatan keras, namun malah “merasa beragama” dengan ajaran kasih sayang. Nyatanya, kesadaran orang yang hari-harinya dihabiskan untuk mengulang kemaksiatan bisa muncul segera bakda diperingatkan akan kemurahan Allah. Inilah salah satu pelajaran penting dari cerita di atas.
Dengan paparan tadi, penulis tidak sedang memerintahkan pembaca untuk bergembira dengan dosa, melainkan menganjurkan perlunya melihat keluasan karunia Allah saat kita merasa tak berdaya ditengah kepungan dosa-dosa. Dalam al-Hikam, Ibn ‘Atha’illah bertutur, “Janganlah suatu dosa yang terlihat begitu besar bagimu, merintangimu dari berprasangka baik kepada Allah. Sesungguhnya siapa yang mengenal Tuhannya, akan menganggap dosanya tak seberapa dibanding kemurahan- Nya.”
Kehadiran dosa-dosa kita jangan pernah melalaikan kita dari kehadiran Allah. Mengingat dosa-dosa (sebaiknya) bukanlah bagian terpisah dari aktivitas mengingat Allah. Pembaca budiman, apakah baik seumpama ada orang yang menyadari betapa menggunung kejahatannya lalu ia putus asa, mengira dosanya tak akan sanggup dia hapus, dan lantas bunuh diri? Orang yang berputus asa ialah orang yang tidak menyadari bahwa Allah memiliki karunia yang luas, tidak percaya kalau anugerah Allahbila ia mau mengaksesnyalebih besar daripada dosanya. Orang yang berpatah harapan barangkali bahkan bisa lupa Allah sama sekali. Di luar dalil dan keterangan, akal sehat sendiri mampu mempersepsi keputusasaan sebagai hal yang tidak baik. Dus, pilihan baik saat kita melihat kejahatan tampak begitu besar adalah berprasangka baik kepada Allah. Kalau Allah ialah Sang Penyabar (al-Shabûr), mengapa kita sendiri tidak sabar dengan tumpukan dosa kita? Nabi saw, bersabda, “Hamba yang penuh dosa namun selalu mengharap ampunan Allah, lebih baik ketimbang hamba yang selalu beribadah namun putus asa dari rahmat-Nya.”
Dalam aforisme yang lain, Ibn ‘Athâ’illah juga mengatakan, “Apabila engkau berbuat dosa, maka itu jangan menjadi alasan keputusasaanmu dalam menggapai istikamah dengan Tuhanmu, karena bisa jadi itulah dosa terakhir yang ditakdirkan bagimu.”
Bila kita tak lalai dengan betapa pengampunnya Allah pada waktu menyadari timbunan dosa yang besar, itu hal yang baik. Ketika itu, kita menghindari keputusasaan, membangkitkan optimisme untuk bisa kembali berbuat baik.
Janganlah ragu kalau Allah itu Maha Pengampun. Ada banyak pernyataan Tuhan sendiri bahwa Dia berkenan mengampuni dosa-dosa manusia.
وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللهُ
Artinya: “Dan siapa lagi yang akan mengampuni segala dosa selain Allah?” Ál ‘Imrân: 135). Bahkan, Allah juga selalu membuka pintu harapan,
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَسْرَفُوا عَلَىأنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Artinya: “Wahai para hamba-Ku yang telah melampaui batas, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (al-Zumar: 53).
Karena itu, jangan sampai keputusasaan menghantui kalbu sehingga kita merasa dosa yang menumpuk tak akan diampuni Allah. Kita tak perlu khawatir kalau istigfar kita tidak Allah pedulikan. Karena, “Sesungguhnya Tuhanmu sangat luas magfirah-Nya” (al-Tawbah: 117). “Siapa yang melakukan perbuatan buruk atau melalimi dirinya kemudian ia beristigfar kepada Allah, niscaya ia akan mendapati Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (al-Nisa’: 110).
Kita perlu percaya bahwa rahmat Allah begitu luas. Dibanding magfirah Allah, dosa-dosa itu kecil. Seseorang mendatangi Nabi saw, bersimpuh lalu berkata, “Oh, dosaku!” dua atau tiga kali. Nabi lantas bilang kepadanya, “Katakanlah, Ya Allah, magfirah-Mu jauh lebih luas ketimbang dosa- dosaku, dan rahmat-Mu lebih dapat aku harapkan daripada amalku sendiri.” Orang itu kemudian meniru mengucapkannya. Nabi kemudian berkata, “Ulangilah!” Ia pun mengulanginya. Nabi berkata lagi, “Ulangilah!” Ia pun mengulangi untuk ketiga kali. Sesudah itu, beliau berkata, “Berdirilah, Allah telah mengampuni.”
Sepertinya Anda keliru bila menganggap bahwa jika dosa-dosa itu kalah besar dibanding ampunan Allah maka itu alasan untuk melestarikan dosa-dosa. Mengingat ampunan Allah adalah untuk mengembalikan kekuatan kita setelah habis tak berdaya melawan dosa-dosa. Mengingat ampunan-Nya, dengan demikian, ialah bagi orang yang tak rela dirinya berlumur dosa, bukan bagi orang yang senang menambah kemaksiatan. Anda tak perlu repot mengingat ampunan Allah tatkala mau memperbanyak dosa. Lagipula, susah membayangkan ada orang yang senang membikin dosa namun ia ingat Allah saat melakukannya.
Menganggap ampunan Allah itu besar juga tidak sama dengan menganggap dosa-dosa itu sepele. Yang pertama berguna, namun yang terakhir berbahaya. Dosa, yang besar sekalipun, memang terbilang kecil dibandingkan dengan kemurahan Allah. Namun, yang kecil bila dilakukan terus-terusan bisa membesar. Yang kecil tak ubahnya seperti percikan api, yang bila disepelekan bisa membakar seluruh kota. Namun, kalau cepat-cepat ditangani, ia bisa segera padam sekalipun cuma dengan segelas air.
Dengan demikian, besarnya ampunan Allah bukanlah alasan untuk melanggengkan diri dalam kemaksiatan. Lagipula, kita tak bisa menjamin bahwa setelah berlalunya banyak kemaksiatan yang kita
rencanakan, kita akan sempat, mau, atau bisa mengingat ampunan-Nya. Dus, besarnya ampunan Allah adalah justru alasan untuk segera memutus rantai tindakan kemaksiatan, untuk mengakhiri keterbenaman diri dalam rawa amal buruk.
Dalam bertobat, yang perlu kita ragukan bukanlah bahwa Allah Maha Mengampuni, melainkan apakah diri kita siap menerima kemurahan ampunan-Nya.
Di antara asma Allah adalah al- Ghaffär, al-Ghafür, al-Tawwab, dan al- ‘Afuww. Al-Ghaffär berasal dari akar kata ghafara yang berarti “menutup”. Sehingga, Allah itu al-Ghaffår berarti Allah menutupi dosa hamba-hamba- Nya karena kemurahan dan anugerah- Nya. Al-Ghaffår juga dikatakan berasal dari kata al-ghafar yang bemakna “sejenis tumbuhan yang digunakan mengobati luka”. Maka, Allah itu al-Ghaffår berarti Allah menganugerahi hamba-Nya penyesalan atas dosa-dosa, sehingga penyesalan ini berakibat kesembuhan, yakni berupa terhapusnya dosa. Al-Ghafür juga mempunyai akar kata yang sama. Namun, makna keduanya dibedakan oleh para ulama. Menurut Ibn al-‘Arabî, al-Ghafür bermakna banyak memberi magfirah, sedangkan al-Ghaffår menyiratkan banyak dan berulangnya magfirah, serta sempurna dan luasnya magfirah. Menurut al-Ghazali, al-Ghafür mengandaikan sempurna dan menyeluruhnya ampunan, sementara dan berulangnya ampunan.
Al-Tawwab mempunyai akar kata yang berarti “kembali”, yakni menuju posisi semula. Al-Tawwab sering diterjemahkan sebagai “Maha Penerima tobat”, namun Allah itu al- Tawwab sesungguhnya berarti Allah berulang-ulang kembali kepada hamba-Nya, memberi dorongan mereka untuk bertobat, dan berulang- ulang pula kembali untuk menerima tobat mereka, dalam arti melimpahkan rahmat-Nya.
Al-‘Afuww mempunyai akar kata yang di antaranya berarti “meninggalkan sesuatu”. Sehingga, Allah itu al-‘Afuww berarti Allah meninggalkan sanksi terhadap yang bersalah (tak sengaja ataupun sengaja), menghapus kesalahan hamba-hamba-Nya serta memaafkan pelanggaran mereka.
Di antara empat sifat Allah itu, yang paling sering disebut dalam Alquran adalah al- Ghafür, yakni sebanyak 91 kali. Dan mayoritas penyebutannya (72 kali) dirangkai dengan sifat al- Rahim (Yang Maha Penyayang). Sifat al- Tawwab, yang terulang 11 kali, juga seringnya (9 kali) disusul dengan sifat al-Rahim. Itu mengisyaratkan bahwa ampunan Allah tak lepas dari rahmat atau kasih sayang-Nya.
Bahwa Dia berkenan mengampuni, itulah bukti kemurahan-Nya. Pembaca budiman, bila Allah menyandang nama-nama itu, lalu mengapa kita masih ragu akan ampunan-Nya? Kitalah yang perlu bersiap menerima anugerah ampunan-Nyadengan bertobat tentunya. Bertobat sendiri berarti mengetuk pintu ampunan Allah. Akan tetapi, seperti kata Rabi’ah al- Adawiyah, “Kapankah kiranya pintu tersebut ditutup sehingga harus diketuk?