Oleh: Dara Yusilawati
Pembahasan mengenai perempuan selalu menjadi topik yang hangat sekaligus mengundang perdebatan, terutama jika pembahasannya dikaitkan dengan pelaksanaan ajaran Islam. Sebenarnya bagaimanakah Islam memandang dan mengatur masalah perempuan? Artikel ini akan membahas pandangan Islam terhadap isu seputar perempuan dengan pendekatan perbandingan antara perpektif tashawwuf (teology), yang lebih merupakan representasi dari hubungan antara manusia dan Tuhannya (habblun minallah), dan Syariah (fiqh), merupakan implementasi dari teology dalam bentuk terutama hubungan antara manusia dan sesamanya (habblun minan nās). Melalui pendekatan perbandingan ini diharapkan terbentuk pemahaman yang jernih dan objektif tentang posisi perempuan dalam Islam.
Perempuan dalam tasawwuf Secara umum, tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam praktik tasawwuf Seperti halnya laki-laki, perempuan dapat juga melakukan pendekatan spiritual kepada Tuhannya; Dengan demikian, keduanya mempunyai tempat yang sama dihadapan-Nya. Pandangan positif terhadap perempuan dalam praktik tasaw wuf sangat dipengaruhi oleh implementasi tawhid yang kental dan menyeluruh. Dalam tawhid ditegaskan bahwasannya di hadapan Allah orang beriman laki-laki dan perempuan mendapat kewajiban dan hak yang sama. Seorang Muslim, baik laki-laki ataupun perempuan, mempunyai kewajiban yang sama dalam pelaksanaan menyuruh kebaikan dan mencegah kemunkaran (amr ma’ruf nahy munkar); dan keduanya akan mendapatkan ganjaran berupa syurga atau neraka tanpa perbedaan gender (lihat Sürah Al-Taubah 71-72). Dalam praktik tasaw wuf, pandangan seperti bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang maskulin seperti Qawiyy (Yang maha kuat), ‘Azīz (Yang maha perkasa), dan pada saat yang sama juga mempuyai sifat-sifat yang feminin, seperti
Rahman (Yang maha penyayang), Rahim (Yang maha pengasih), Lathif (Yang maha lembut)dan Jamil (Yang maha indah), dijadikan sebagai penyeimbang (balance) dalam kehidupan yang berbudaya bias gender ini.
Banyak Sufi laki-laki dan tarikat- tarikat yang memberikan penghormatan dan penghargaan terhadap perempuan selayaknya terhadap laki-laki dalam hal pendekatan kepada Tuhannya. Maulana Jalaluddin Rumi adalah salah ‘ satu di antara Sufi laki-laki yang sangat menghormati perempuan dan mengajak perempuan untuk berpartisipasi dalam tarikatnya. Bahkan, ia juga menunjuk beberapa wanita untuk menjadi khalifahnya. Dhu-n Nün al-Mishrī dan Abū ‘Abdurrahman As-Sulami adalah dua tokoh Sufi lainnya yang juga memberikan tempat yang terpuji kepada perempuan dalam praktik tasawwuf.
Banyak Sufi perempuan yang telah terlahirkan dari berbagai tarikat walaupun hanya satu yang lebih terkenal dan dianggap sebagai seorang guru Sufi. la adalah Rabi-ah al-Adawiyyah (717-801 M.), seorang Sufi perempuan yang pertama mengungkapkan hubungannya dengan Allah dalam bahasa cinta (mahabbah) yang mudah dimengerti oleh banyak orang. Baginya, Tuhan adalah Tuhan, dan karena la-lah maka ia mencintai Tuhan, bukan karena yang lain. Sufi perempuan yang lain yang cukup terkenal dan mendapat penghormatan luar biasa dari seorang tokoh Sufi Dhu-n Nün al-Mishri adalah Fatimah Nishapuri (d. 838M). Dimata Dhu-n Nün al-Mishrī, Fatimah Nishapuri adalah seorang waliyyah (wali) diantara wali-wali Allah karena pemahamannya yang mengagumkan mengenai isi Al-Qur-an. Selain Dhu-n Nün al-Mishrī, dua Sufi lain yang juga mengagumi Fatimah Nishapuri adalah Abū Yazīd al-Bistāmī dan Abū Abdurrahman as-Sulamī. Ada sederet Sufi perempuan lainnya seperti Sha’wana dari Iran; Fatimah (Jahan- Ara), anak dari Shah Jehan, Mogul Emperor dari India (1592-1666); Aisha dari Damaskus, Feriha Ana yang menyebarkan tarekat Rifaiyyah di Istanbul Turki; Zeyneb Hatun dari Ankara; dan delapan puluh Sufi perempuan lainnya yang telah dikompilasi dalam Sufi-sufi Wanita karangan Abū ‘Abdurrahman As- Sulami Di Indonesia, partisipasi perempuan dalam praktik tasaw wuf juga cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya perempuan yang berpartisipasi dalam acara-acara yang bernafaskan tasaw wuf baik dalam bentuk dhikr, pembacaan rawi, hadiyyah, atau manākib, atau dalam kegiatan-kegiatan yang lebih spesifik yang telah ditentukan dalam suatu tarikat tertentu dalam rangka pencapaian maqam-maqam tertentu dalam praktek lasawwuf. Partisipasi perempuan dalam praktik tasaw wuf di Indonesia biasanya berupa asosiasi formal dengan suatu tarikat tertentu dengan cara menjadi menjadi anggota, atau secara informal seperti yang dilakukan banyak Majelis Taklim ibu- ibu yang tersebar di Indonesia. Walaupun belum terdengar adanya seorang Sufi perempuan atau bahkan seorang guru Sufi perempuan di Indonesia, besarnya partisipasi perempuan dalam berbagai kegiatan tasawwuf di Indonesia menunjukkan bahwa perempuan di Indonesia tak pernah terhalangi dan tidak juga merasa inferior untuk turut partisipasi mereka dalam kegiatan spiritual dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Namun, sayang sekali, peran serta dan keberadaan perempuan dalam tasaw wuf kurang menjadi perhatian. Diantara sekian banyak Sufi perempuan, hanya Rabī-ah al- Adawiyyah yang sering disebut-sebut sebagai seorang guru Sufi; dan pengakuan teerhadapnya di dunia tasawwuf bukan tanpa perjuangan, karena dimata Sufi seperti Al- Kalābādhi, Rabī-ah al-Adawiyyah bukanlah seorang Sufi melainkan merupakan suatu ungkapan bahasa kiasan, suatu alat retorika dan bukan pribadi yang nyata. Kurangnya perhatian terhadap para Sufi perempuan disebabkan oleh kurangnya tradisı menulis dalam praktik tasawwuf, sehingga pengetahuan dan pengalaman spiritual yang pernah dialami mereka tidak tersosialisasikan dan tidak ketahui banyak orang. Hal lain adalah adanya persinggungan antara pemahaman tasaw wuf, yang cenderung untuk menghargai perempuan, dengan pemahaman fiqh, yang lebih diskriminatif terhadap perempuan. Karena aplikasi fiqh jelas lebih dominan dalam masyarakat muslim. Untuk alasan inilah, maka praktik tasaw wuf yang diaplikasikan dalam praktek tarikat tidak selalu memperlakukan perempuan sesuai dengan persfektif yang ada dalam tasaw wuf.
Persinggungan dan pengaruh dari fiqh telah menyebabkan adanya segregasi dalam praktik tarikat dan menyempitkan peluang bagi seorang sufi perempuan untuk menjadi seorang guru sufi.
Berbeda sekali dengan tasawwufdalam fiqh (secara umum), perempuan tidak diperlakukan setara dengan laki- laki. Hal ini dapat dilihat dari berbagai hukum yang dihasilkan fiqh yang menempatkan perempuan seakan- akan lebih rendah dari laki-laki terutama dalam hal yang berkaitan dengan mu’amalah (hubungan antara sesama manusia) seperti pembagian harta waris, perempuan sebagai saksi, pembuktian perzinaan, poligamy, nusyüz, tidak memiliki hak talak. dan fungsi-fungsi sosial perempuan.
Walaupun pada sisi lain, dalam fiqh, perempuan mendapatkan hak-hak khusus seperti mendapatkan nafkah dan mahar, namun perlakuan khusus ini sangat sedikit dan dengan demikian tidak setimpal dengan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Pada banyak kasus bahkan pemberian nafkah dan mahar (yang juga dapat diberikan dalam bentuk simbolis saja) kepada perempuan justru dijadikan alasan seorang suami untuk memperlakukan istrinya dengan sekehendak hatinya.
Dalam pembagian harta waris, perempuan mendapatkan setengah dari bagian laki-laki. Dan sayangnya, sedikit sekali ulama yang mengungkapkan dan atau mau mengungkapkan pendapat bahwasannya pembagian harta waris dalam Islam dapat dilakukan berdasarkan asas kesepakatan para ahli waris. Prof. Munawir Sadzali (alm) adalah seorang ulama yang berani menyatakan bahwa pembagian waris 2:1 (baca; dua banding satu) ini tidak adil dan merugikan perempuan, namun pendapat ini kemudian tidak sepenuhnya dapat diterima oleh ulama-ulama fiqh lainnya dan pendapatnya dianggap tidak populis,
Di hadapan fiqh, perempuan tidak dapat menjadi saksi. Dan jika ia adalah seorang saksi, maka harus ada dua saksi perempuan agar kesaksiannnya menjadi valid dan dapat diterima. Untuk alasan yang tidak pernah diketahui, perempuan tidak dianggap mampu menjadi saksi selayaknya laki-laki. Jika hal ini karena perempuan secara fisik lebih lemah dari laki-laki dan dimungkinkan ada ancaman tehadapnya jika ia bersaksi yang sebenarnya, maka argumentasi seperti ini tidak dapat diterima karena sebenarnya banyak juga laki-laki yang secara fisik lemah dan lebih lemah dari sebagain lakı-lakı lainnya dan dapat menerima ancaman yang sama.
Posisi perempuan dalam hal perzinahan adalah yang paling memprihatinkan. Perempuan sama sekali tidak punya ruang untuk membela diri terutama jika ia kemudian hamil. Untuk pihak laki- laki, dibutuhkan empat orang saksi agar kasus perzinahan tersebut dapat diajukan ke pengadilan. Jika empat saksi tidak dapat diajukan, maka kasus tidak akan dapat diajukan ke pengadilan, bahkan si penuduh dapat sebaliknya dituduh melakukan qadhaf karena telah menuduh seseorang melakukan zina tanpa bukti yang cukup, dan hukumannya hampir sama seperti orang yang berzina. Namun bagi pihak perempuan yang hamil, padahal ia dinyatakan tidak terikat pernikahan dengan seseorang, maka kehamilannya akan dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan zina. Ironisnya, jika seandainya ia telah diperkosa dan hamil, maka ia akan mengalami kerugian yang berlipat, yaitu: satu, ia telah menjadi korbah perkosaan; dan yang kedua, karena kehamilannya, ia akan dituduh telah berzina. Dan jika ia tak dapat menghadirkan saksi dan bukti yang cukup bahwa ia telah diperkosa, maka ia akan dihukum atas tuduhan zina. Praktik poligamy adalah bentuk pelecehan terhadap perempuan yang paling sering dilakukan laki-laki. Hal ini karena poligamy lebih dipandang sebagai hak seorang laki-laki daripada sebagai pilihan untuk diaplikasikan pada kondisi-kondisi tertentu.
Akibatnya, hak-hak perempuan dalam suatu rumah tangga tidak terpenuhi dan tak ada perlindungan hukum untuknya. Masih dalam urusan rumah tangga, jika seorang istri musyüz atau melanggar ajaran-ajaran agama Islam, dalam hal ini sering diartikan jika tidak menurut kepada suami seperti pergi atau melakukan sesuatu tanpa izin suami, maka suami dapat memberikan peringatan kepada bahkan dengan memukul si isteri. Walaupun telah tersakiti demikian, isteri tidak dapat mengajukan perceraian, dalam fiqh, hak talak tetap menjadi hak suami. Fungsi sosial seorang perempuan dalam praktiknya seperti yang disebutkan dalam sejarah Islam terutama pada periode Rasulullah saw sebenarnya tak pernah dibatasi secara eksplisit. Namun pada perkembangannya, ada pembatasan fungsi sosial perempuan terutama dalam fiqh. Perempuan tidak boleh jadi pemimpin, termasuk dalam keluarga, karena alasan seperti bahwa perempuan tak dapat mengambil keputusan penting terutama pada saat mendapat menstruasi. Perempuan tidak dapat menjadi seorang ulama fiqh, yang sampai saat ini dapat dikatakan tidak ada, karena pemahaman agama perempuan yang kurang akibat dari praktik agama yang kurang, dan hal ini lagi-lagi karena perempuan mengalami menstruasi. Produk hukum yang dihasilkan dalam fiqh terutama yang berkaitan erat dengan hubungan antara sesama manusia (mu’āmalah) sebenarnya adalah produk hukum yang menyalahi perpektif teologis tentang persamaan hak dan kewajiban perempuan di hadapan Allah. Karena suatu produk hukum adalah hasil ijtihad manusia, maka besar kemungkinannya ia dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial politik pada saat hukum ini dibuat. Seharusnya, hukum-hukum yang diskkriminatif dapat selalu di- review dan dirubah sesuai dengan situasi dan kondisi pula.
Kesimpulan
Pandangan mengenai perempuan dalam tasaw wuf lebih merepresentasikan bagaimana sebenarnya posisi perempuan dalam Islam harena penekanannya yang lebih mengaplikasikan teologi Islam (tawhid) dan lebih adil dibandingkan dengan pandangan mengenai perempuan dalam fiqh. Produk hukum İslam yang dihasilkan fiqh lebih memberikan kesan bahwa Tuhan tidak adil terhadap perempuan, dan tentu saja ini tidak sesuai dengan semangat yang dibawa Islam yaitu seangat keadilan. Fiqh (secara umum) lebih merupakan hasil karya ijtihad manusia yang dalam kesempatan ini adalah laki-laki, dan hukum yang dihasilkannya tidaklah luput dari kesalahan. Seandainya saja, semangat keadilan yang diambil dari asas ketawhīdan dalam Islam, maka akan tercipta suatu keharmonisan dalam komunitas Muslim di dunia.