Diasuh oleh: Syekh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Sesepuh Pesantren Sirnarasa Cisirri
Masalah: Mengapa istilah mursyid hanya digunakan oleh orang-orang Thoriqot?
Jawaban:
Tidak begitu dan jangan begitu. Karena di dalam kitan At-Ta’rifat 205, dijelaskan bahwa mursyid itu ialah YANG MENUNJUKKAN JALAN YANG LURUS SEBELUM TERSESAT. Kitab tersebut dijual untuk umum di toko-toko kitab yang tersebar di mana-mana. Menurut definisi tadi, asal yang menunjukan ke jalan yang lurus bisa disebut mursyid. Plang di pinggir jalan pun termasuk mursyid menurut bahasa umum.
Adapun kata mursyid di dalam Al-Qur’an, penunjuk jalan yang lurus atau jalan hati menuju Alloh. Melalui penunjuk itu, hati seseorang sampai kepada Alloh oleh Alloh.
Salah satu ciri yang menerima penunjuk itu hati, seperti difirmankan oleh Alloh di dalam Al- Qur’an surat Ali-Imron 8:
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَامِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابِ
Artinya: “Ya Tuhan kami janganlah Engkau jadikan hati kami cenderung kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari-MU karena hanya Engkaulah yang memberi petunjuk”.(Ali-Imron 8)
Dan salah satu yang menerima petunjuk itu adalah hati, firman Alloh surat al-Taghobun ayat 11:
ومن يؤمن بالله نهد قلبه والله بكل شيءعليم علیم
Artinya: “Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu”. (At-Taghobun 11)
Dengan keterangan tersebut, kita harus mengerti bahwa yang harus menggunakan kata mursyid bukan hanya orang yang bergelut dalam Thoriqot. Tapi seluruh umat islam yang beriman kepada Al-Qur’an. Lagi pula thoriqot itu bukan hanya untuk sekelompok umat Islam tapi untuk seluruh manusia yang beragama Islam. Lebih jelas lagi bacalah majalah SINTHORIS 1/Januari 2004/Dzulqo`dah 1424. Tulisan Prof. Dr. H. Ahmad Hidayat MA. Yang berjudul TANPA ADANYA MURSYID UMMAT AKAN KEHILANGAN PANUTAN. Saya yakin yang dimaksud dengan umat ini adalah umat Islam. Jadi, bukan hanya orang-orang thoriqot saja yang akan kehilangan panutan malah semua umat Islam. Tulisan tersebut sudah tentu tidak asal asalan tapi merupakan hasil penelitian secara ilmu dan bukti bakti beliau kepada seorang mursyid serta karena telah merasakan kepanutannya dalam hal dorongan moril dan materil kepada muridnya seperti guru
besar tersebut. Dan perlu diingat bahwa yang namanya ahli ilmu/ulul ilmi menurut al-Quran adalah dinyatakan sebagai saksi oleh Alloh. Sebagaimana difirmankan oleh Alloh dalam surat Ali Imron ayat 18:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُوا العلم قائمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الحكيم
Artinya: “Alloh menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Alloh, Dialah yang menegakkan keadilan, para malaikat dan orang- orang yang berilmu”. Itulah saksi yang dinyatakan al-Quran. Maka dengan tulisan tersebut, para pembaca akan bertambah pengetahuannya dan agar memiliki sandaran kebenarannya dari orang yang tidak tahu dan orang yang berilmu. Para ikhwan hendaknya tidak ketinggalan membaca majalah tersebut, korbankan uang yang hanya lima ribu rupiah demi peningkatan pengetahuan. Lebih jauh lagi guru besar tersebut mengatakan/menulis bahwa dalam relitanya para mursyid itu bukan orang sembarangan. Tidak sama dengan guru besar di Perguruan Tinggi atau kiayi di pesantren.
Para ikhwan TQN Pondok Pesantren Suryalaya harus bersyukur dengan tulisan itu karena kita bisa mensyukuri nikmat Alloh kepada kita dengan dipertemukannya kita dengan pangersa Abah sebagai orang yang bukan sembarangan.
Sungguh berani beliau mengatakan demikian, karena jelas beda dengan yang lain, diantara perbedaanya adalah fatwanya yang lima yang tidak ditemukan di tempat lain atau di pesantren lain, silahkan saja buktikan. Fatwanya adalah:
* Tidak boleh membenci ulama yang sezaman.
* Tidak boleh menyalahkan ajaran orang lain.
* Tidak boleh meneliti murid orang lain.
* Tidak boleh meninggalkan tempat/beranjak, sekalipun disakiti orang lain (ulah medal sila upama kapanah).
* Harus sayang kepada orang yang membenci kepadamu. Itulah kebenaran yang ditampilkan oleh bapak Profesor tadi, lima hal yang tidak sembarang orang mampu memilikinya.
Bagaimana pentingnya memiliki orang tersebut? Ini wasiat Syekh Suhrowardi tentang ciri-ciri mursyid kamil di dalam kitab Awarifal-Ma’arif:
وإن ساعدت السعادة وجدت شيخا كما)192( ذكرنا (حزينة الأسرار
“Dan jika engkau beruntung dengan keberuntungan yang sebenarnya maka pasti engkau temukan dengan guru seperti itu”. Jelas susah menemukannya seperti
susahnya mencari belerang merah. Bapak Profesor menyatakan pula bahwa mursyid itu bukan kiayi biasa. Berarti mursyid itu kiayi luar biasa. Dan keluarbiasaannya itu karena sikap dan perilakunya sehari-hari tidak menunjukkan luar biasa. Seperti orang biasa-biasa saja sehingga tidak sedikit orang yang terjebak dengan ke-luarbiasa- annya. Orang-orang zaman sekarang suka silau dengan yang menunjukkan luar biasa, padahal tidak demikian. guru besar tersebut mengatakan demikian meyakinkan umat Muhammad Saw yang sedang belajar mengamalkan TQN melalui pangersa Abah selaku mursyidnya.
Agar tidak ragu-ragu dalam pengamalannya. Karena mursyid kamil itu panutan yang baik atau uswah hasanah bagi umat Muhammad SAW zaman sekarang, beliau pun un beruswah hasanah kepada gurunya dan gurunya pun beruswah hasanah kepada gurunya dan seterusnya dan seterusnya kepada junjunan Nabi sampaiad Rosululloh saw, sampai kepada Malaikat Jibril a.s, yang akhirnya sampai kepada Tuhan segala yang dipertuhan Alloh Jalla Jalaluhu.
Panutan yang baik itu tidak hanya Rosululloh SAW saja, menurut Al-Qur’anul karim, surat Al-Mumtahanah ayat 6:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أَسْوَةٌ حَسَنَةً
Artinya: “Sesungguhnya pada mereka itu ada teladan yang baik, bagimu dan bagi orang-orang yang mengharap Alloh dan hari akhir. Dan barang siapa yang berpaling, maka sesungguhnya Alloh Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Al-Mumtahanah 6).
Bagi seluruh umat islam zaman sekarang sudah barang tentu, mursyid kamillah yang semestinya menjadi panutan mereka.
Dr. H. Cecep Alba MA menulis pula di dalam majalah SINTHORIS itu, menjelaskan bahwasanya As- Syeikh Mursyid membimbing para salik secara bathin menuju keridhoan Alloh. Yang dimaksud para salik disini, tentunya ummat Muhammad Saw yang sedang belajar mendekatkan diri mereka kepada Alloh SWT, dengan cara yang telah dicontohkan Nabi Muhammad Saw, melalui ibadah yang dhohir dan yang bathin bahkan dua-duanya. Karena Islam bukan agama kelahiran dan bukan pula agama kebathinan. Dua hal yang tidak dipisahkan yang satu dari yang lainnya. Kesempurnaan nikmat Alloh itu apabila dua-duanya dapat dirasakan.
Tuan Syeikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin menulis dalam Miftah al-Shudur juz awal tentang kesempurnaan ajaran islam yang kita cintai ini sebagai berikut:
لأن الطريق إلى الحق تعالى ظاهر وباطنفظاهرها الشريعة وباطنها الحقيقة
“Bahwa sesungguhnya perjalanan menuju Alloh Yang Mah Luhur itu, dhohir dan bathin yang disebut syari’at dan haqiqat (Miftahus Shudur juz awal 21) Selanjutnya beliau menegaskan:
فالشريعة مؤيدة بالحقيقة والحقيقة مقيدةبالشريعة فكل شريعة غير مقيدة بالحقيقةفغير مقبولة وكل حقيقة غير مقيدةبالشريعة فغير مقبولة أيضا
“Syari’at dikuatkan dengan haqiqat dan haqiqat pun diikat dengan syari’at. Setiap syari’at yang tidak dikuatkan dengan haqiqat, maka tidak diterima. Dan setiap haqiqat yang tidak diikat dengan syari’at, maka tidak diterima juga”. (Miftahus Shudur juz awal 21)
Syari’at/dhohir adalah ibadah jasad dan Haqiqat/ bathin adalah ibadah hati. Contoh ibadah jasad misalnya dalam sholat kita melakukan hal- hal sebagai berikut:
Berdiri diatas sajadah Ruku’/membungkuk ke sajadah Sujud menungging dan jidat, dua telapak tangan, dua lutut dan jari telapak kaki dua sebelah dalam, hanya diatas sajadah. Duduk diatas sajadah. Menghadapnya hanya ke Ka’bah yang ada di tengah-tengah mesjidil Harom Makkah Mukaromah. Semua itu hanya sampai disitu-situ juga tidak kemana-mana. Apabila mengandalkan ibadah itu, tidak diterima oleh Alloh, tidak sampai kepada Alloh. Ukuran sampai atau tidaknya ibadah tersebut kepada Alloh adalah bagaimana hatinya. Apabila hatinya tidak dzikir kepada Alloh, malah ingat kepada selain Alloh, nasib sholat tersebut hanya sampai taraf “Sholat sahun” atau yang difirmankan oleh Alloh di dalam surat Al-Anfal 35, hanya siulan dan tepuk tangan semata- mata, tidak dianggap sholat oleh Alloh.
وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَ
Artinya: “Tidak ada sholat mereka didekat Baitulloh itu, yang ada hanya siulan dan tepuk tangan”. (Al-Anfal 35)
Apabila sholat tersebut dilaksanakan dzohir dan bathinnya, syari’at dan haqiqatnya, gerakan dan perasaannya, itulah sholat yang di contohkan oleh Rosululloh Saw. Yang ditegaskan oleh beliau di dalam kitab Nailul Author juz awal/ Kitabus Sholat, hadis ke 484.
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أَصَلَّى (نيل الأوطار فيكتاب الصلاة حديث (484)
Artinya: “sholatlah sebagimana kamu sekalian melihat sholatku!”
Hadits diatas merupakan perintah langsung dari Rosululloh Saw. Jangan sekali-kali mengabaikan perintahnya. Hukumnya wajib, dilaksanakan dapat pahala, tidak dilaksanakan dapat siksaan. Pahala dan siksaan tersebut bukan di akhirat nanti tetapi akan terasa di