Menjadi Haji Jadi

Oleh: Syekh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan ibadah haji untuk tahun ini pun menuai kontroversi perkara yang besar. Dipastikan kurang lebih tigapuluhribu orang calon jemaah haji harus gigit jari karena batal untuk melaksanakan rukun Islam yang ke lima itu. Tidak sedikit pula yang shock lalu meninggal akibat kegagalan kepergiannya ke Kota Mekah itu.

Kenyataan berulang-ulang yang kerap terjadi itu memang memprihatinkan. Ibadah haji yang seharusnya ditangani dengan sungguh-sungguh oleh pihak-pihak yang terkait, kini menjadi ajang bisnis yang menggiurkan. Apalagi akhir-akhir ini minat umat Islam untuk menunaikan ibadah tersebut terus meningkat. Seolah ibadah haji ini tidak mengenal kata krisis ekonomi. Setiap tahun, kenyataannya pelaku ibadah haji ini terus meningkat.

Siapapun juga yang mengaku dirinya muslim pasti ingin menyandang predikat sebagai haji. Jangankan yang sudah kuat keimanannya malah orang awam pun

ingin menyandang predikat itu. Untuk jadi haji sebenarnya tidaklah terlalu sulit. Yang penting punya uang untuk berangkat ke Mekah dan berangkatnya pada musim haji, maka pulang dari sana sudah bisa menyandang titel sebagai pak haji, bu haji, kang haji, neng haji dan berbagai sebutan terhormat lainnya.

Sangat mudah bukan, untuk bisa menyandang predikat haji itu? Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, ingin apakah berangkat ke Mekah itu. Apakah berangkatnya hanya sekedar ingin menyandang predikat sebagai haji saja atau ingin ada lebihnya yaitu menjadi haji jadi atau yang disebut haji mabrur tea. Jika tujuan kita untuk menjadi haji mabrur, maka tidak ada yang lebih tepat balasannya kecuali surga. Sesuai sabda Rosululloh Saw:

العُمْرَةَ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجَ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاء إِلَّا الجَنَّة

Artinya: “Dari Umroh ke umroh adalah penghapus dosa diantara keduanya. Dan

kaji mabrur tidak ada balasannya kecuali ” (HR. Bukhori dan Muslim dari Abi Huroiroh ra)

Jangan sampai terjadi, sudah cape-cape berangkat ke Mekah pada bulan haji, uang sudah keluar banyak namun predikat yang didapat adalah haji mardud (haji yang ditolak). Haji yang seperti itu disebabkan beberapa faktor, diantaranya bisa jadi berangkatnya mempergunakan uang haram dan ia tidak mengingat Alloh (dzikrulloh) hingga keberadaannya disana tidak lebih bagaikan orang yang hanya sekedar piknik untuk kesenangan semata. Haji semacam ini, pada saat ia mengucapkan talbiyah, “Labaika” (aku memenuhi panggilanMu), saat itu pula Alloh SWT menjawab, “La Labbaika wala sa’daika” (tidak ada permohonan dan kebahagiaan untukmu), itulah sabda Rosululloh SAW (HR. Ad Dailami)

Menjadi Haji Mabrur

Dalam kitab Safinatun-najah diterangkan bahwa setiap tahun hanya menghajikan 70 ribu orang dari sekian juta yang menunaikan ibadah haji.

Korelasi dari hal itu sungguh sesuai dengan sinyalemen Umar bin Khattab yang mengatakan bahwa, “Pelancongnya yang banyak, sedangkan yang menunaikan haji sangat sedikit!”. Artinya secara kuantitas, yang pergi melakukan ibadah haji memang banyak tetapi yang benar-benar melakukan ibadah haji sangat sedikit sekali.

Pantas saja Rosululloh SAW menyatakan balasan bagi haji mabrur adalah surga karena ibadah haji mengandung nilai jihad yang tinggi karena didalamnya terkandung seluruh dimensi ibadah yang terdiri dari, jasadiyah (fisik), maaliyah (harta) dan ruhiyah (jiwa).

Disebut ibadah jasad karena harus dilakukan dengan fisik kita. Pelaku ibadah haji harus mempunyai kesehatan prima untuk menghadapi tantangan medan yang cukup berat sepertu suhu panas, angin gurun yang besar dan lain-lain. Jadi kurang tepat seseorang menyatakan dirinya haji sementara ia belum berangkat ke Mekah. Ibadah ini pun disebut ibadah maaliyah karena pengorbanan harta yang sangat besar dan sangat penting untuk diperhatikan bahwa ibadah haji merupakan ibadah ruhiyah.

Diantara ketiga faktor tersebut, faktor ruhiyah lah yang paling banyak menentukan mabrur tidak nya seseorang dalam berhaji. Jika berhajinya tidak disertai faktor ruhani yang berisi dzikrulloh maka sia-sialah semua yang telah dilakukan itu karena dianggap cuma main-main. Yang didapat hanyalah capai dan payahnya saja. Seperti yang difirmankan Alloh SWT dalam surat Al Anfaal ayat 35:

وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلَّا مَكَاءً

وَتَصْدِيَةٌ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ

Artinya: “Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.”

Pengertian ayat di atas tertuju kepada mereka yang sholat di depan baitulloh tetapi hatinya tidak hadir menghadap Alloh alias tidak dzikir. Mengingat faktor untuk menjadi haji mabrur itu berada pada faktor ruhiyah maka setiap calon jemaah haji harus berusaha untuk mendapatkannya sebelum berangkat. Untuk mencapai ini, perlu usaha keras (mujahadah) yaitu mencari seorang mursyid yang kamil mukaamil yang akan mentalqinkan kalimah dzikir kedalam ruh sehingga dari hal itu akan didapatkan kesadaran (musyahadah). Musyahadah sendiri bisa diartikan dengan kesadaran tentang hakekat diri kita dan hubungan dengan Alloh. Sehingga dari kesadaran ini akan melahirkan rasa cinta (mahabah) yang membuat kesiapan untuk berbuat dan berkorban. Dengan hati yang senantiasa sadar (melakukan dzikrulloh) itulah akan membentuk pelakunya bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai moral spiritul dari ibadah itu.

Ciri seorang haji mabrur atau tidak dapat terlihat dari perilaku nya.

haji mabrur senantiasa berupaya untuk melanggengkan dzikrulloh yang sebelumnya telah ditanamkan dalas ruh oleh pewaris risalah Rosululloh SAW yaitu syekh mursyid. Adapun om dzohir nya adalah, ia senantiasa melahirkan dan meningkatkan kebaikan dan kebajikan yang berkesinambungan setelah menunaikannya.

Definisi ini didukung oleh oleh kaidah yang diletakan oleh para ulama, bahwa salah satu tanda bahwa amal ibadah kita kita diterima Alloh adalah bahwa amal ibadah itu akan melahirkan kebaikan dan kebajikan, baik yang berupa amal ibadah ritual individual atau amal ibadah sosial. Dan ternyata setiap amal ibadah ritual, salah satu tujuannya adalah amal ibadah sosial-moral. Pada ibadah sholat misalnya, Alloh berfirman dalam Al Ankabuut ayat 45

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah

mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Jangan sampai terjadi, sepulang dari ibadah haji pelitnya masih belum mau berhenti, sikap berangasannya tidak diredam, dan perbuatan tercela lainnya masih dilakoni. Itulah salah satu ciri haji kita tertolak.

Mudah bukan, untuk menentukan mabrur atau mardud nya ibadah haji kita. Barometer untuk itu sudah jelas ada acuannya. Pada ibadah ini, yang menjadi ukuran kemabruran adalah seberapa jauh pelakunya melahirkan kesadaran moral spiritual yang menimbulkan semangat untuk melakukan kebaikan dan kebajikan. Dengan kata lain, seberapa jauh ibadah haji mendorong terjadinya reformasi pada diri kita, sehingga beralih dari sikap negatif kepada nilai- nilai positif.

Maka apabila reformasi dan transformasi itu tidak terjadi pada diri kita setelah menunaikan ibadah haji maka kita tidak berhak untuk menyandang predikat haji mabrur. Walaupun mungkin pengorbanan secara materi sangat besar, uang habis dan badan sakit.

Ingin Mendapat Pahala Haji

Sungguh teramat rugi seandainya pahala haji hanya ditujukan bagi mereka yang bisa berangkat ke Mekah. Berarti orang-orang yang tidak punya kecukupan harta hanya bisa merenungi nasib karena

keistimewaan dari Alloh tidak bisa diraih disebabkan tidak bisa berangkat ke Mekah.

Sengaja dalam tulisan ini sejak paragraf pertama, Nuqthoh tidak pernah menuliskan Mekah dengan sebutan tanah suci. Sekedar untuk memberi suatu perbandingan bahwa kalau ada ungkapan tanah suci berarti di luar itu semuanya kotor. Begitupula dengan istilah Ka’bah sebagai baitulloh pengertiannya harus diperluas lagi bahwa ka’bah dan tempat manapun juga di dunia yang dipakai sebagai sarana untuk ibadah kepada Alloh itulah yang disebut rumah Alloh (baitulloh). Oleh karenanya, bagi mereka yang tidak punya kecukupan harta sehingga tidak bisa menunaikan ibadah haji dengan berangkat ke Mekah, banyak- banyaklah datang ke masjid, sholat berjama’ah, dzikrulloh, itikaf dan melakukan berbagai aktivitas ibadah lainnya didalamnya, maka hakikatnya orang tersebut telah menunaikan ibadah haji.

Ada beberapa hal yang bisa membuat seseorang hakikatnya telah menjadi haji walaupun secara syara belum bisa dikatakan haji karena belum berangkat ke Mekah pada

saatnya musim haji. Dalam haditsnya Rosululloh SAW bersabda, “Sangat beruntung orang yang semalaman melaksanakan haji serta pagi-paginya melaksanakan jihad, yaitu manusia yang tidak ingin terkenal, banyak anaknya, tidak

mengemis (minta-minta), ridho akan rijki yang diterimanya walaupun sedikit, Kalau ada yang datang kepadanya, ia senantiasa tersenyum dan kalau ditinggalkan, senyumnya senantiasa mengiringi. Demi dzat yang jiwa kami ada dalam kekuasaanNya, sebenarnya mereka sama dengan yang melaksanakan ibadah haji dan jihad di jalan Alloh SWT” (HR. Ad-Dailami dari Abu Huroiroh ra). Dalam hadits lainnya, Rosululloh SAW bersabda, “Barang siapa yang mencukupi kebutuhan saudaranya sesama muslim, tentulah mereka mendapat pahala seperti pahala orang yang tengah melakukan haji dan umroh. “(HR. Al-Khatib dari Anas ra) Oleh karena itu, apabila kita mendapatkan orang-orang seperti yang disebutkan diatas termasuk juga kepada mereka yang senantiasa berbuat kebaikan kepada kedua orangtuanya, sangat layak kita mendo’akan mereka seperti do’a yang senantiasa dipakai untuk mengiringi orang yang akan menunaikan badah haji. “Astaudiulloh, diinuka waamanataka wa khowaatima amalika. Artinya, Aku titipkan kepada Alloh, agamamu, amanatmu dan akhir dari amalmu. (HR. Turmudzi). “Zatwadakallohut-taqwa wagofaro dzabaka wayassaro lakal- khoiro haitsu maa kunta.” Semoga Alloh berkehendak memberikan kepadamu bekal taqwa dan mengampuni dosamumu serta memudahkan untukmu segala kebaikan, dimana saja kamu berada.” (HR. Turmudzi)

Jika kita runut kembali tentang masalah haji mabrur maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa kunci untuk menjadi haji mabrur adalah berbekal kalimat ahsanu qoulan, yaitu Laa Ilaaha Ilalloh yang telah diambil dan ahlinya yaitu seorang syekh yang mursyid yang kamil mukaamil.

Penulis adalah Wakil Talqin TQN PP Suryalaya dan Sesepuh PP Sirnarasa Cisirri.

Check Also

Hatiku Adalah Cermin Diriku

Oleh: Syekh Muhammad Abdul Gaos S. M. (Sesepuh Pondok Pesantren Sirnarasa Gisirri) Ibadah, apa pun …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *