Ilmu Dan Hakikat Penghambaan

Oleh: Drs. K. H. Jujun Junaedi (Dosen Fakultas Dakwah IAIN Sunan Gurung Jati Bandung)

Pada dinasti Ahassiyah pernah terjadi gelombang pengungsian besar-besaran yang dilakukan oleh alim ulama para cendekiawan. Pasalnya, pada itu telah terjadi teror di mana-mana. Salah seorang yang ikut mengungsi adalah Imam Ja’far Ash-Shadiq. Segera tersebar berita pengungsian itu selab beliau adalah imam besar. Karenanya masyarakat pada berdatangan mengunjunginya, ingin mendapatkan berkah dan ilmunya. Salah seorang di antaranya adalah Unwan, kakek tua 94 tahun yang selalu haus belajar apa saja. Untuk diterima sebagai murid dia harus berjuang mati-matian. Beberapa kali datang tidak diterima. Terakhir dia berjalan memasuki masjid Nabawi, kemudian ke Raudhah dan mengerjakan shalat dua rakaat. Setelah malam ia berdoa, “Ya Allah! Aku mohon kepada- Mu, lunakkanlah hati Imam Ja’far. Karuniakan aku dengan ilmunya agar aku dapat berjalan dijalan-Mu yang lurus dengan petunjuk-Mu.” Ternyata doa itu dikabulkan Alloh. Kali ini Ja’far menerima kedatangannya. Maka disampaikanlah maksudnya. Ia berkata: “Aku telah memohon kepada Alloh agar di lunakan-Nya hati Anda untuk memberikan ilmu kepadaku. Aku sangat berharap Alloh mengabulkan permohonan ini.” “Wahai Abu Abdullah,” begitu Ja’far membuka pernyatamnya. “Ilmu itu tidak didapat hanya sekadar dengan belajar. Ilmu stu ibarat cahaya yang memasuki hati orang yang selalia berdoa kepada Alloh Ta’ala agar selalu diberi-Nya petunjuk. Jika engkan ingin mendapatkan ilmu, pertama kali carilah hakikat penghambaan dalam dirimu Carilah ilmu dengan menggunakan dan memanfaatkannya dan bertanyalah kepada Alloh SWT. Niscaya dia akan memberikan pemahaman kepadamu.”

Unwan menyambung pertanyaannya, “Apakah sebenarnya hakikat penghambaan itu?” “Ada tiga perkara untuk seorang hamba. Pertama, janganlah menganggap apa yang telah diberikan Alloh sebagai miliknya sebab hamba sama sekali tidak punya hak milik. Harta adalah milik Alloh dengan demikian mereka akan menempatkan harta mereka tersebut sesuai dengan perintah Alloh dalam memanfaatkannya. Kedua, jangan mengatur diri semau-maunya. Apabila seorang hamba telah melakukan demikian, niscaya terasa ringanlah segala musibah di dunia ini. Musibah yang bagaimana pun bentuk dan beratnya akan terasa ringan. Ketiga, hendaklah seorang hamba selalu menyibukkan din dengan apa yang diperintahkan Allob dan menjauhi apa yang telah dilarang-Nya. Dengan demikian dia tidak akan menambahnya lagi dengan perdebatan dan membanggakan dirinya kepada orang lam.”

Kisah ini kita angkat karena sangat menarik untuk dicermati. Banyak orang telah belajar bahkan banyak yang pandai tapi lupa terhadap nasihat ini. Akibatnya, mereka yang belajar dan yang sudah pandai tidak malah dekat dengan Alloh tapi justru jauh dari-Nya. Bukankah terlalu sering kita saksikan orang yang mengkorup harta rakyat adalah mereka yang sudah sarjana? Siapakah yang lebih banyak andilnya dalam merusak lingkungan hidup, kalau bukan yang ahli urusan pengelolaan sumber daya alam? Siapakah pula yang lebih banyak perannya dalam mengeruk kekayaan bumi? Lagi-lagi orang-orang pintar. Orang-orang yang “terpelajar” itulah yang paling banyak berbuat kedhaliman. Alloh SWT berfirman, “Wa idzaa kiilalahum latufsiduu fil ardhi qooluu innamaa nahnu muslihuun alaainnahum humul mufsiduuna swalaakilla yasy uruun.” Artinya, “Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru yang mengadakan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang membuat kerusakan tetapi mereka tidak sadar.” (QS. Al Baqorah: 11-12).

Ali bin Abi Thalib pernah meriwayatkan bahwa akan terjadi suatu fitnah. Umar bin Khathab bertanya, kapankah hal itu terjadi? Jawab Ali, “Bila tiba masanya seseorang yang belajar bukan lagi untuk kepentingan agama.

Orang belajar ilmu tidak untuk diamalkan. Dan jika telah ditemuk orang yang memanfaatkan amalan akhirat untuk mencari kebahagiaan dunia.”

Itulah sebabnya nasihat Imam jabe tadi perlu mendapat renungan yang le mendalam bahwa pencari ilmu hendaknya mendasari hidupnya dengan hakikat penghambaan. Bila tidak demikian, niscaya akan semakin jauh dari Alloh, lebih dekat dengan kejahatan yang berarti lebih dekat dengan neraka jahanam.

Nabi sendiri bersabda, “Barang siapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat dengan Alloh, malah jauh dari-Nya.” (Al Hadits).

Jangan Merasa Punya Hak Milik Semua yang ada, termasuk diri kita sendiri, sebenarnya bukanlah milik kita. Kita hidup karena Alloh yang menghidupkan. Kita asalnya tiada menjadi ada. Adanya kita pada hakikatnya adalah semu, sebab kita akan kembali tiada. Kita tidak memiliki apa- apa. Kita tidak bisa menguasai diri kita sendiri. Buktinya, kadang kita sakit, sementara sakit itu tidak pernah kita harapkan. Kita pernah bersedih hati dan kecewa, padahal itu tidak kita inginkan. Kita tidak sedikit pun dapat menguasai diri kita sendiri. Kita adalah milik Alloh sepenuhnya.

Sayang, kadang kita lupa. Seakan akan diri kita adalah milik kita. Harta yang kita usahakan adalah hak kita sepenuhnya. Karenanya kita memperlakukan anggota tubuh kita sesuai dengan selera sendiri.

Membelanjakan harta juga semau gue. Kita meningkat sederajat menjadi pemilik, majikan, dan penguasa atas diri dm harta kita. Setingkat lagi kita akan merasa sebagai Tuhan. Na’udzubillah.

Jika sekiranya kita merasa eksis, maka Alloh tidak menggugat apa-apa. Kita juga dihitung oleh Alloh sebagai khluk istimewa yang punya hak-hak tertentu. Tetapi sekali lagi, begitu kita menyatakan sebagai orang Islam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat, berarti kita telah bersumpah untuk yang kesekian kali menyerahkan diri sepenuhnya kepada Alloh. Dalam bahasa yang lebih mudah, kita telah “menjual” din kita kepada Allah, berbai’ah.

Jika kita bertindak sebagai penjual, Alloh akan menjadi pembelinya. Alloh akan memborong harta yang kita miliki, juga diri kita sendiri. Harganya tidak tanggung-tanggung, yaitu surga, jannatun na’im. “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang yang beriman diri mereka dan harta mereka dengan surga.” (Q.S. At-Taubah:111) Silakan saja bila tidak mau dibeli Alloh, sebab neraka adalah harga orang yang telah menghambakan dirinya kepada selain Alloh. Jangan Mengatur Diri Semau Sendiri.

Tidak ada seorang pun yang merasa bebas sebebasnya. Sebab dunia ini telah diatur dengan berbagai peraturan yang mengikat. Setiap manusia pasti bergaul dengan manusia lain. Tak mungkin pergaulan antar manusia dapat berlangsung harmonis tanpa aturan. Baik dalam berjual beli, bergaul sehari-hari, termasuk bergaul antar jenis kelamin.

Manusia hidup di dunia, sementara dunia ini telah teratur sedemikian rupa. Jika manusia hendak merubah aturan mainnya, maka terjadilah kerusakan di mana-mana. Kita tidak akan bebas, sebab minimal kita telah dibatasi oleh ruang dan waktu. Kita tidak bisa berbuat seenak sendiri, membuat peraturan semaunya, sebab segala aturan telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Jika kita mencoba untuk menolak aturan- Nya, berarti menolak ketertiban, merusak tatanan. Akibatnya, diri kita rusak dan orang lain juga terkena dampaknya. Misalnya Alloh membuat aturan yang menyangkut pakaian. Bila kita mencoba untuk melanggarnya, maka diri kita akan menjadi korban, orang lain juga demikian. Sikap sebagai seorang hamba sebaiknya adalah memilih hukum dan peraturan Alloh, menolak yang bertentangan dengannya. Tiada alternatif lain kecuali mentaati peraturan-Nya.

Sibuk Memenuhi Perintah Alloh Jangan sampai ada waktu yang tersisa untuk kegiatan selain menghamba kepada Alloh sebab setan akan selalu siap memanfaatkan kesempatan itu untuk menggoda. Peluang sekecil apa pun akan menjadi incarannya. Karenanya lindungi diri dengan memperbanyak dzikir kepada- Nya. Sebaliknya, jangan sampai diri kita lupa terhadap hakikat kehidupan itu sendiri. Bahwa kehidupan ini pada hakikatnya adalah medan penghambaan kepada Alloh. Dunia ini tidak lain hanyalah alat untuk mencapai akhirat. Jangan sampai kita mencari dunia hanya untuk dunia. Lebih-lebih jangan sampai kita menjual akhirat untuk kebahagiaan dunia. Hal inilah yang telah ditegaskan oleh Alloh dalam salah satu ayatnya : “Dan ingatlah suatu hari ketika kaum kafir dihadapkan ke neraka dan dikatakan kepada mereka, “Kamu telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan dunia dan kamu telah bersenang-senang dengannya. Maka pada hari ini kamu dibalas dengan adzab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik.” (QS. Al Ahqoof: 20) *

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *