Oleh: Syekh Muhammad Abdul Gaos S. M. (Sesepuh Pondok Pesantren Sirnarasa Gisirri)
Ibadah, apa pun bentuknya semua bermuara untuk menggapai pribadi yang bertaqwa. Dalam kitab Miftahush Shudur juz 2, diceritakan Alloh SWT memberi kabar bahwa manusia dengan dzikir akan menjadi orang yang bertaqwa. Orang yang ingin bertaqwa harus istiqomah dalam mengamalkan dzikir. Karena hasil dzikır adalah berbuah ketaqwaan sebagai bagian dari upaya mengikis habis sifat-sifat tercela dalam hati
Begitu pula dalam bulan Romadhon kali ini, salah satu obyek sasaran yang menjadi bidang garapan terpenting adalah masalah hati. Ini pula yang sebenarnya menjadi bidang garapan ibadah-ibadah lain. Sholat umpamanya, membina hati agar selalu ingat pada Alloh SWT. Zakat, bukan sekedar mengeluarkan uang tetapi sasarannya adalah melatih hati agar terhindar dari penyakit bakhil. Demikian juga haji. melatih hati agar terhindar dari perasaan takabur.
Seluruh rangkaian ibadah adalah proses tazkiyah, pembersihan jiwa. Dengan ibadah rutin seperti sholat. diharapkan daki-daki yang mengotori hati disebabkan dosa-dosa harian dapat tercuci. Demikian juga ibadah shaum Romadhon yang sarat dengan aturan- aturan ini, diharapkan dengannya
kotoran-kotoran yang ngeplek berupa dosa-dosa tahunan dapat tergelontor bersih. Jika Prokasih (Program Kali Bersih) di kota-kota besar perlu penggelontoran setahun sekalı maka saum Romadhon adalah penggelontoran hati.
Tentu saja tidak semua orang yang menjalankan puasa Romadhon otomatis hatinya bersih. Ibarat sabun cura, jika seseorang yang hendak mencuci pakaiannya tidak ikut aktif mengucek dan membilas dengan air bersih maka pakaian itu akan tetap kotor. Mungian malah bertambah kotor
Itulah yang disebut oleh Nahi, “Banyak orang yang puasa, tapi mereka tidak mendapatkan apa-apa, kecuali lapar dan dahaga saja. Sebaliknya, orang yang menjalankan ibadah Romadhon dengan aturan permainan yang benar, proses, dan mekanisme yang yang sesuai dengan sunnah Rosul, dia akan mendapatkan hasil yang memadai. Sebagaimana sabda Nabi, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhon dengan iman dan mengikuti ketentuan syariah, maka diampunkan segala dosa-dosa masa
lalunya.”
Bahkan dalam hadits lain disebutkan, mereka itu akan kembali seperti baru dilahirkan. Hadits ini menggambarkan betapa bersih hatı
seseorang yang telah terampuni dosa- dosanya berkat ibadah Romadhon. “Saking” bersihnya diibaratkan sebagaimana bayi yang baru lahir. Sebuah gambaran yang luar biasa, sebab bayi belum pernah melakukan dosa apa pun juga. Karenanya seorang bayi selalu menggembirakan siapa yang memandangnya. Semua orang tertarik untuk menggendong, membelai dan menyayanginya. Itulah gambaran orang yang telah terampuni dosa-dosanya. Hatinya bersih sebening kaca. Hati seperti itulah yang digambarkan Rosululloh Saw sebagai, “Hati jernih, yang di dalamnya ada lampu yang bersinar terang, ialah hati orang yang beriman.”
Hati ibarat cermin. Bila cermin itu bersih tentu dapat memantulkan cahaya ilahi. Tetapi hati yang kotor seperti cermin yang kotor. Tak secercah cahaya pun dapat menembusnya apalagi memantulkan kembali. Pada hati yang bersih kita bisa bercermin. Artinya kita bisa melihat dari pantulannya tentang mana yang patut dan mana yang kurang sesuai. Yang kurang patut dapat segera dibenahi, yang sudah patut diteruskan. Sedang yang mengotori segera dibuang jauh-jauh. Mudah sekali bila hati kita bersih. Itulah sebabnya hati yang bersih dapat menjadi penasehat kita sehari-hari. Kita akan selamat karena memiliki hati bersih. Kotoran sekecil apa pun dapat ditangkap apalagi yang besar. Sebelum melakukan sesuatu bercerminlah pada hati. Hati itulah yang akan memberi komentar, mengoreksi, dan
memperbaiki.
Rosululloh Saw bersabda,
“Barangsiapa yang hatinya memperoleh
penasehat, dia akan mendapatkan Allok sebagai penjaganya. Tentu saja hadits ini bukan rekayasa Nabi, melainkan petunjuk langsung dari Alloh SWT. Artinya Alloh betul-betul akan menjaga orang yang hatinya bersih. Orang yang hatinya masih bersih sangat sensitif bila melihat kemungkaran dan segala tindak kejahatan. Jika dia sendiri yang melakukannya tentu segera tanggap dan minta ampun kepada Alloh. Jika orang lain yang mengerjakan itu, dia pasti membenci kemudian berusaha untuk memperbaikinya.
Suatu ketika Nabi ditanya, “Apakah
dosa itu?” Beliau menjawab, “Dosa adalah segala pekerjaan yang engkau malu bila melakukannya secara terang- terangan.” Suatu kali ada yang tanya lagi, beliau menjawab, “Adalah sesuatu yang menggusarkan hatimu.” Tetapi orang yang hatinya sudah terbiasa melakukan dosa, tidak lagi merasa risih, gusar dan merasa bersalah bila melakukan tindakan kejahatan. Ada kesan bahwa kesalahan itu menjadi tradisi sehari-hari yang bisa dimaklumi. Dengan kata lain, apabila orang berhati gelap gulita melakukan kejahatan, yang ia rasakan hanyalah sesuatu yang lumrah saja, seperti yang biasa dilakukan siapa saja. Kenapa malu, orang lain juga melakukannya. Kenapa dihapus, hal itu sudah membudaya. Begitulah kira-kira yang ada di benaknya.
Kita jangan meminta nasehat kepada pribadi seperti itu. Terhadap dirinya saja tidak bisa menasehati, apalagi untuk orang lain. Orang demikian akan selalu hidup dalam dalam kegelapan tanpa lampu penerang. Hidayah Alloh pasti
terpental, tak bisa menembus hati yang
seperti itu. Nasehat dijadikan nyanyian, tuntunan dijadikan tontonan. Kebenaran dilecehkan. Al Qur’an diacuhkan. Kisah- kisah teladan diplesetkan. Hati yang demikian digambarkan dalam Al Qur’an, “Syumma qosat quluubukum mim ba’di dzaalika fahiya kaalhijaaroti au asyaddu goswah” “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” (Q.S. Al Baqoroh: 74)
Pada hati yang gelap gulita seperti milah setan bersemayam. Di sana setan membangun markas besarnya. Dari sana pulalah setan menyebar ke seluruh anggota tubuh melalui jaringan-jaringan darah. Di mana darah mengalir, disitu setan bertengkar. Tak satu lobang pun tak ditembusnya. Tak ada batas lagi antara dia dan setan. Lengket seperti ikan dengan air. Dia merasa tak lagi bisa hidup tanpa bimbingan setan.
Banyak orang yang tak bisa tidur tanpa musik yang mengalun. Makan tidak enak bila tidak didampingi wanita cantik yang siap melayani segala kebutuhan. Bicara tak lancar tanpa bumbu dusta. Jika wanita, ia merasa kurang pas tampil tanpa membuka auratnya. Orang-orang seperti ini hidupnya sudah bergantung pada setan. Satu satunya bimbingan yang diikuti adalah bimbingan setan itu. Kemana setan mengomando, kesanalah arah ia menuju. Kemana lagi setan membimbing orang demikian jika bukan ke jalan kesesatan? Hati yang gelap akan menjadi pekat lagi. Hati yang demikian tergambar dalam firman Alloh, “Atau bagai gelap gulita di lautan kelam, yang diliputi oleh ombak, di atasnya ombak pula, dan diatasnya lagi mendung menggumpal. Gelap bertumpang tindih
Tashowwuf
HOHIDAN
dengan gelap. Jika dijulurkan tangannya, nyaris ia tak mampu melihatnya sendiri. Barangsiapa yang Alloh tidak menjadikannya cahaya untuknya, tidaklah ia mendapatkan cahaya sedikit рия.” (Q.S. An Nuur: 40) Jika orang terpelajar atau
cendekiawan hatinya gelap seperti ini, keenceran otaknya tidak banyak berfungsi, malah lebih berbahaya lagi. Bertambahnya ilmu tidak semakin mendekatkan dirinya kepada Allah, tapi malah menjauhkannya. Tambah pinter, semakin angkuh. Orientasi berpikirnya tidak lebih memikirkan kebutuhan perut dan yang di bawah perut. Itu saja yang dipikirkan. Itu pula yang diusahakan untuk dipenuhi, sepanjang hidup. Lebih bahaya lagi jika ada pemimpin yang gelap hatinya. Nampaknya yang termasuk kategori ini semakin banyak saja. Sulit rasanya menemukan penguasa yang bersih hatinya. Nafsu lebih dominan ketimbang akalnya. Jika akalnya dimanfaatkan, itu pun berkat bimbingan setan. Apa hasilnya? Menumpuk- numpuk harta selagi masih kuasa. Tak peduli rakyat melarat tak jadi soal rakyat menderita, kalau perlu rakyat dijadikan tumbal, korban-korban tak berdaya.
Banyak contoh penguasa seperti ini dalam Al Qur’an. Fir’aun adalah salah satunya. Tentu saja fir’aun-fir’aun sekarang lebih banyak lagi jumlahnya, Dengan segala variasi dan modus operandi. Hati mereka gelap, matanya juga buta. Rosululloh Saw bersabda, “Bekunya mata karena kerasnya
hati, kerasnya hati akibat banyaknya dosa. Menumpuknya dosa akibat lupa mati. Lupa mati karena banyaknya angan-angan.
Terlalu panjangnya angan-angan disebabkan karena terlalu cinta dunia. Cinta kepada dunia itulah yang menjadi sumber segala kesalahan.”
Siapa tak cinta dunia? Yang miskin kerja keras, banting tulang, peras keringat untuk mencari sesuap nasi dari pagi hingga pagi kembali. Hidupnya untuk mengail rupiah demi rupiah. Kenapa takut mati, karena masih cinta dunia ini. Kekayaan yang sudah di tangan tak boleh behenti. Terus diputar dan diputar. Terus dikembangkan hingga beranak cucu. Bunga berbunga. Tiada kata puas. Semakin banyak semakin haus. Ibarat minum air laut, tidak mengenyangkan malah semakin haus. Rakus dan tambah rakus. Bakhil dan semakin pelit. Bukannya tak boleh kerja keras, malah harus. Akan tetapi untuk apa? Jika hanya untuk sesuap nasi atau sehelai rupiah, tanpa tujuan yang lebih mulia, hidup kita tidak lebih beharga dari binatang malah lebih rendah lagi.
Bukan berarti kita tak perlu kaya, malah kita harus berusaha keras untuk menjadi kaya. Kekayaan yang dapat dipakai sebagai sarana ibadah kepada Alloh. Dalam kitab Tafrihul Khotir dan Fathurrobbani, Syekh Abdul Qodir Al Jailani menyampaikan wasiat tentang kekayaan ini. Wasiat yang sangat pendek dan simple namun maknanya seluas dan
sedalam lautan, “Wa kaana al-Maalu Khodimaka wa Anta Khodimu al Maula yang artinya, “Harta kekayaan itu hane menjadi khodammu, harus mengabdi kepadamu dan harus tunduk kepadamu, sedangkan kamu harus tunduk kepada Alloh”.
Apa saja harta kekayaan itu? Rumah, mobil, motor, sawah, lading, perusahaan, istri, anak dan sebagainya, itu di antaranya contoh-contoh kekayaan. Kadang-kadang, bahkan sering, kita terlalaikan dengan kekayaan itu sehingga lupa kepada yang memberi kekayaan, yaitu Alloh Yang Mahakaya dan Pemberi Kekayaan. Kekayaan itu jangan hanya untuk disimpan, dipajang, dan dimanfaatkan untuk maksiat, apalah artinya. Malah di akhirat nanti akan dikalungkan di leher pemiliknya dalam keadaan terbakar api neraka. Naudzubillah.
Kelalaian itu semuanya
bersumber dari hati, jika hati rusak
maka rusaklah segalanya. Jika baik, maka baiklah semuanya. Karenanya hati perlu dirawat sedemikian rupa. Romadhon telah memberi kesempatan seluas-luasnya untuk membersihkan hati. Mudah-mudahan itu bisa kita raih, sehingga hati kita menjadi bersinar. Tidak saja menyinari diri sendiri, lebih jauh dapat menyinari alam sekitar. Di hati yang bersinar itulah, Alloh senantiasa
menyertai. Suatu kali Rosululloh ditanya, “Dimanakah Alloh berada, di bumi atau di langit,” Nabi menjawab, “Di hati orang mukmin”. Lebih tegas lagi Alloh berfirman dalam hadits Qudsi, “Bumiku tak sanggup memuat dzat-Ku begitu juga langit-Ku, yang dapat memuat-Ku adalah hati-hati hamba-Ku yang beriman, lunak, dan tenang”.
Agar hati senantiasa bersinar maka perkuat keyakinan/ keimanan diri dengan memperbanyak dzikrulloh (Laa laaha Illalloh) yang telah ditalqinkan oleh syekh mursyid sehingga terpatri kokoh di relung hati. Dari hati yang bersinar itulah maka akan didapatkan Iman yang haqqul yaqin, kokoh kuat tak tergoyahkan; mahabbah yaitu mencintai Alloh dan Rosul-Nya melebihi cintanya kepada yang lain-lainnya, lalu tasfiyah al- qulub yaitu bersihnya hati dari penyakit dan kotoran seperti sombong, riya’, hasad, iri, dengki, rakus, dan sebagainya.
Sinar dzikrulloh akan memantul dalam hati menyinari lekuk relung hati, menerangi perilaku sehari-hari, menembus jalan gelap, menguak segala misteri. Duhai, Siapa gerangan yang ingin punya hati bersih. Alangkah bahagianya jika kita mempunyai hati yang bersih. Kita akan senantiasa bersama-sama dengan Alloh SWT, kalau pun belum bisa –karena diri kita masih kotor– maka ikut saja menempel dengan syekh mursyid yang sudah benar-benar bersama-sama dengan Alloh.