Larangan Mendebat Guru

Etika: Ilmu Yang Mencari Orientasi

Salah satu kebutuhan manusia yang paling fundamental adalah orientasi. Sebelum kita dapat melakukan sesuatu kita harus mencari orientasi dulu. Kita harus tahu dimana kita berada, dan ke arah mana kita harus dan akan bergerak untuk mencapai tujuan kita. Filsafat manusia mengatakan bahwa manusia itu adalah makhluk yang tahu dan mau. Artinya, kemauan mengendalikan pengetahuannya. Ia akan bertindak berdasarkan pengertian-pengertian tentang di mana ia berada, tentang situasinya, kemampuan-kemampuannya, jadi tentang segala faktor yang perlu diperhitungkan, dipikirkan dan dilaksanakan agar sesuai dan berjalan dengan baik, maka ia memerlukan orientasi. Tanpa orientasi orang tidak mengetahui arah dan tujuan kemana dan bagaimana mencapainya.

Etika yang menjadi pokok tulisan ini dapat dipandang sebagai sarana orientasi bagi usaha manusia untuk

menjawab pertanyaan yang amat fundamental: “Bagaimana saya harus hidup dan bertindak?” Sebenarnya ada banyak pihak yang menjawab pertanyaan itu bagi kita: orang tua, adat-istiadat, teman, tradisi, lingkungan sosial keagamaan, negara, berbagai ideologi dan ‘guru’. Tetapi apakah benar apa yang mereka katakan? Dan bagaimana kalau mereka masing-masing memberikan nasihat yang berlainan? Yang mana (siapa) yang harus diikuti?

Dalam situasi ini etika mau membantu kita untuk mencari orientasi. Tujuannya adalah agar kita tidak hanya ikut-ikutan saja tetapi memang berdasarkan atas keyakinan dan mengerti sendiri bagaimana seharusnya bersikap, dan lebih jauh dari itu dengan orientasi ini kita akan lebih siap mempertanggung jawabkan kehidupan kita. Ilmu Etika dan Ajaran Tashawuf untuk lebih mengerti apa itu etika, Kita harus membedakan antara filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan. Etika adalah sebuah ilmu bukan sebuah ajaran. Oleh karena itu etika dan ajaran tidak berada pada tingkat/posisi yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bertingkah laku, beribadah bersopan santun adalah ajaran. Sedangkan etika adalah mengantarkan pemahaman atau mau memberi pengertian “mengapa” kita mengikuti ajaran, atau seseorang (guru) tertentu dalam hal ini adalah Guru Mursyid, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap berhadapan dengan berbagai hal.

Sedangkan tashawuf adalah merupakan suatu ajaran bagi orang- orang yang ingin mendekatkan diri atau berusaha lebih dekat dengan Allah SWT, adapun Menurut Al- Ghozali RA ajaran Tashawuf adalah ajaran untuk membersihkan penyakit hati, maka mengamalkan ajaran Tashawuf adalah Fardhu Ain, karena semua orang tidak lepas dari penyakit atau cacat hati kecuali para Nabi AS. Karena fardhu ‘ain, maka wajib pergi mencari ahlinya (Guru Mursyid). Menyanggah atau Mendebat (I’tirad) dalam Tashawuf dalam dunia pendidikan berbeda pendapat bahkan berbantahan antara guru (pengajar/dosen) dengan murid (siswa/mahasiswa) memang menjadi sebuah kewajaran, atau bahkan menjadi suatu keharusan. Karena dalam proses pendidikan seperti ini orientasi (etika) yang dibangun sejak awal adalah menciptakan pribadi- pribadi yang cerdas, pintar, piawai dan mahir dalam berbagai hal. Secara etika, untuk membangun sebuah orientasi dalam dunia pendidikan seperti ini, maka harus dimulai dengan pertanyaan, bagaimana kita akan memperoleh kecerdasan, kemahiran, kepintaran dan kepiawaian tersebut? Salah satunya adalah dengan berdiskusi (berdebat), berbantahan argumen, mengadu ide dan kreativitas dan budaya kritik auto kritik (saling mengkritik) dll.

Membantah atau mendebat yang dalam dunia tashawuf lebih dikenal dengan istilah I’tirad seorang murid kepada Syekhnya (Guru Mursyidnya), adalah bukan sebuah kewajaran lagi. I’tirad-nya (sanggahan) murid kepada sang Guru telah menjadikan berkurangnya kadar keta’atan, dan kurangnya rasa percaya dan cinta kepada gurunya. Sanggahan seperti ini adalah perjalanan suluk yang berlawanan dan sangat rendah. Secara etika, sanggahan yang dilakukan seorang murid dalam ajaran tashawuf adalah murni salah, karena murid yang menyanggah telah melakukan pengingkaran atas apa yang dimulainya sejak awal, yaitu orientasi. Dalam ajaran tashawuf, seseorang berguru dan meminta petunjuk, tentu dengan keyakinan bahwa yang diikuti itu benar. Jadi etikanya dalam ajaran tashawuf seseorang jika belum yakin dan masih ragu dalam menentukan siapa atau mana yang harus diikuti, sebaiknya diyakinkan dulu, karena keraguan hanya akan membiaskan orientasi seseorang dalam mencapai apa yang menjadi tujuanya.

Dalam suatu keterangan (dalam bukunya Muhammad Zaki Ibrahim, Tashawuf Hitam Putih, Tiga Serangkai Solo, 2004) dengan tegas mengatakan bahwa menyanggah seorang guru mursyid, berarti menentang nya karena ia tidak memiliki kepercayaan sepenuhnya (sebagai orientasi) kepada Guru/Syekhnya, maka rusaklah kepatuhannya sebagaimana rusaknya kemakmuman seseorang yang tidak memiliki kepercayaan akan kesucian imamnya dalam perjalanan suluknya, para sahabat melakukan hal-hal yang baik dalam berhubungan dengan Rasulullah sebagai Guru di samping sebagai Nabi dan Rasull utusan Allah yang mengajarkan berbagai hal dan menunjukan ke jalan yang benar Mereka (para sahabat) dalam menerima ajaran-ajaran Rasulullah dengan penuh keyakinan dan perlu dijadikan contoh, seperti Sahabat Abu Bakar ash- Shidiq, dalam proses menerima ajaran dari Rasulullah sebagai Gurunya, dia lebih mengikuti cara/ keta’atan Nabi Ismail kepada Nabi Ibrahim dalam hal kepercayaan, pembenaran dan kepatuhan terhadap seorang Guru secara mutlak. Sahabat Abu Bakar tidak akan pernah mempertanyakan apa yang diperintahkannya, kecuali dia tidak mengerti caranya Contoh kedua, adalah cara yang dilakukan Sahabat Umar bin Khatab dalam menerima ajaran Rasulullah dalam hal keyakinan, kepercayaan dan kecintaan terhadap pengetahuan dengan cara bertanya dengan sopan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *