Diasuh oleh: K. H. M. Abdul Gaos Saefulloh Maslul Sesepuh Pesantren Sirnarasa Cisirri
Tanya:
Alhamdulillah saya boleh dikategorikan sebagai ikhwan yang sangat membutuhkan bimbingan dari para mubaligh Pondok Pesantren Suryalaya, demi tercapainya cita-cita saya untuk menjadi seorang murid pangersa Abah yang khidmat kepadanya. Akan tetapi saya kadang- kadang bingung karena ternyata mubaligh itu banyak ragamnya dalam melaksanakan kegiatan amaliahnya baik yang harian, mingguan atau pun bulanan. Apakah amalan itu bisa diseragamkan atau tidak?
datangi. Itulah kekayaan pengersa Abah. Apabila semua mubaligh telah seragam melaksanakan segala petunjuk pengersa Abah, ikhwan yang khidmat tidak menonjol kebajikannya. Mubaligh datang ke tempat pengajian manakiban itu, bukan hanya semata-mata untuk membina para ikhwan TQN Pondok Pesantren Suryalaya tapi untuk sama-sama melaksanakan tuntunan tuan syekh dengan sebaik-baiknya, seikhlas-ikhlasnya, agar saling asah, saling asuh, saling asih dengan sesama murid atau yang ingin
Jawab:
Pertama, anda harus bersyukur karena telah punya keinginan menjadi murid yang berkhidmat kepada pangersa guru agung Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul Arifin ra. Itu berarti bahwa anda akan siap menjalankan segala apa yang diamalkan oleh beliau.
Kedua, anda jangan bingung karena beraneka ragam sikap serta akhlaq para mubaligh yang datang ke tempat pembinaan yang suka anda
terbawa oleh mursyid. Ketiga, telah sejak dahulu pengersa Abah membuat maklumat untuk keseragaman. Tetapi itulah yang namanya hidayah, tidak bisa dipaksakan. Jangankan mengikuti pengersa Abah, pengikut Nabi Muhammad Saw pun banyak yang munafik. Sumuhun dawuh di hadapannya sedangkan di belakang lain lagi.
Keempat, yang paling penting, kita saja mesti benar-benar melaksanakan amaliyah TQN Pondok
Pesantren Suryalaya dengan segala pelengkap amaliyahnya, sesuai dengan contoh dari beliau. Dengan kata lain tidak ditambah dan tidak dikurangi.
Jadi yang harus diikuti itu siapa? Contoh yang masih hangat, menurut berita hasil silaturahmi para wakil talkin, mengenai keseragaman amaliyah yang telah dicontohkan oleh al-marhum Syekh Abdulloh Mubarok ra. yang dilanjutkan oleh pangersa Abah Anom dan ditambah dengan maklumat tahun 2003 yang diperbaharui pada tahun 2004 kepada para wakil talkin, ternyata di daerah berbeda-beda.
Contohnya sholat lidaf il bala dan khotaman setelah isya ada yang melakukan dan ada yang tidak, malah ada yang mengatakan tidak usah. Ada pula yang sholat lidaf il balanya dilaksanakan tapi khatamannya di rumah masing-masing saja, bagaimana itu?
Itulah dalam serta luasnya lautan tanpa tepi yang diserukan oleh tuan syekh Abdul Qadir dalam Tafrikhul Khotir halaman 46:
اقبلوْا إِلَى أَمْرِ مِنَ اللَّهِ أَنَا أَمْرٌ مِنَ اللَّهِ يَا بنيات الطريق يَا رِجَالُ يَا أَبْطَالُ يَا أَبْدَالُ
يَا أَطْفَالُ هَلُمُوْا وَخُذُوا عَنِ الْبَحْرِ الَّذِي
لا سَاحِل لَهُ
Artinya: “Menghadaplah kepada perintah Alloh! Aku adalah perintah Alloh. Wahai anak-anak jalan (ahli toriqot), wahai laki-laki Alloh, wahai para pahlawan yang gagah perkasa membatalkan serangan musuh. Wahai para abdal, wahai para anak ma nawi dan ambillah dari lautan tanpa tepi!”
Tentunya telah Alloh ukur kemampuan masing-masing, bagaimana besar dan kecilnya wadah masing-masing, tidak bisa dipaksakan. Ada yang hanya seteguk, tentu ada yang lebih dari itu dan ada pula yang lebih banyak lagi dari itu. Mudah-mudahan saja walaupun apa adanya diterima sebagai murid yang akan mendapatkan percikan barokah dari lautan tak bertepi tersebut.
Begitu juga seperti halnya umat pengikut Nabi Muhammad Saw, tidak semua sama mampu meneguk air risalahnya, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Hasyiyyatul Bajuriy ala matnil burdah halaman 24:
وَكُلُّهُمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ مُلْتَمَسٌ غَرْفًا مِنَ الْبَحْرِ أَوْ رَشْفًا مِنَ الدِّيمِ
Artinya: “Semuanya bersumberkan dari rasululloh Saw pengambilannya, hanya mungkin ada yang hanya seciduk dari lautan tanpa tepi tersebut atau hanya seisap saja/ seteguk saja dari ilmunya dan hilimnya yang
bagaikan lautan tanpa tepi itu”.
Begitu juga para pengikut pangersa abah, tentu juga beraneka ragam dalam menyikapi aqwal, af al serta ahwalnya. Seperti halnya para sohabat Rasululloh yang mursyid, pada masa Rasul mereka tidak sama dalam keahliannya. Dimana keahliannya tersebut adalah warisan dari junjunan, rasululloh Saw: Benarnya Sayyid Abu Bakar Al-Siddiq Adilnya Umar Bin Knottob Hilimnya Usman Bin Affan Gagahnya Ali Bin Abi Tholib. Itu semua adalah warisan dari pribadi yang satu untuk menjadi satu pula pada diri para pengikutnya. Bukan hanya menjadi empat golongan yang berbeda, tapi harus menjadi satu kesatuan yang utuh. Seperti dalam diri pribadi Syekh Abdul Qadir al- jaelani. Tegukan dan isapan itu tentunya berbeda. Perbedaan itulah yang semestinya menjadi rahmat bagi semua umat. Seperti dijelaskan dalam Kailani:
تحويلُ الْأَصْلِ الْوَاحِدِ إِلَى أَمْثَلَةِ مُخْتَلَفَة لِمَعَانِ مَقْصُودَةٍ لَا تَحْصِلُ إِلَّا بِهَا
Artinya: “Perpindahan asal yang satu kepada mitsil yang berbeda-beda karena maksud tertentu, tak menghasilkan apa- apa kecuali dengan cara itu”.
Seperti kata kerja dari tulis, menjadi yang menulis, yang ditulis, sedang menulis, sedang ditulis, tempat menulis, waktu menulis, tulis! juru tulis, warna tulisan, sekali nulis, menulis apa? Dan sebagainya.
Jadi sekarang, yang harus diikuti itu siapa? Di madrasah Suryalaya saja, tidak sholat lidaf il Bala?
Yang menjadi imam ketika pa ustadz mengikuti sholat tujuh likuran di madrasah Suryalaya siapa? Pangersa Abah? Atau yang lain? Aduh.. saya tidak tahu namanya, yang jelas bukan pangersa abah. Mulai sekarang pa Ustadz dimana saja, kalau mau mengikuti pangersa Abah, jangan melirik ke kanan dan ke kiri. Pokoknya jangankan orang, malaikat pun jika membuat keraguan dalam mengikuti guru mursyid kamil ini, jangan dilirik lagi. Kita harus sayang pada perjuangan. Mencari guru ruh itu tidak mudah. Sudah ketemu banyak halangannya, terutama halangan dan rintangan dari dalam kalangan kita sendiri dan khususnya dari diri kita sendiri. Makanya dalam surat al-Hijr ada pedoman yang sangat penting yang selalu diingat oleh para pengikut Nabi Muhammad .Saw agar mempunyai pendrian
فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعِ مِنَ اللَّيْلِ وَاطْبِعْ أَدْ
بَارَهُمْ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ وَآمِنُوا حَيْثُ
تُؤْمَرُونَ
Artinya: “Maka pergilah kamu di akhir malam dengan membawa keluargamu dan ikutilah mereka dari belakang dan janganlah seorangpun di antara kemu menoleh ke belakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang diperintahkan kepadamu” (al-Hijr: 65)
Mengapa setegas itu? Sampai-sampai Malaikat pun jangan dilirik?
Karena mustahil malaikat menghalangi atau meragukan seorang murid kepada gurunya. Yang akan membuat murid ragu kepada gurunya, yang meragukan umat kepada Nabinya, yang meragukan manusia kepada Tuhannya, pasti syetan. Ragu adalah pekerjaan hati. Pekerjaan itu pasti dilemparkan oleh syetan ke dalam hati. Sabda Nabi Muhammad Saw:
ان الشَّيْطَانَ يَجْرِي عَلَى الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِّ فَخَشِيْتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوْبِكُمَا شَيْئًا
الحديث النبوى)
Artinya: “Sesungguhnya syetan itu berjalan di dalam diri manusia melalui saluran darah. Aku khawatir apabila syetan melemparkan sesuatu ke dalam hati kalian berdua (dua sohabat yang saat itu berada di hadapan Rasul)”.
Apakah yang dilemparkan oleh syetan tersebut?
Lupa kepada Alloh. Itulah makanya Syekh Junaid al-Baghdadi dalam Risalah Qusyairiyyah
mengatakan bahwa lupa dari mengingat Alloh/ dari dzikrulloh adalah lebih berbahaya daripada masuk neraka.
Mengapa lupa kepada Alloh lebih berbahaya daripada masuk neraka?
Karena lupa kepada Alloh menimbulkan orang keras hati. Hati keras, lebih keras dari batu. Firman Alloh:
فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ أُولَئِكَ
فِي ضَلَالٍ مُبِيْنٍ
Artinya: “Maka wail/ kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Alloh. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (al-Zumar: 22).
Wail itu apa? Wali dalam kamus al-Munawir adalah salahsatu jurang dalam neraka jahannam.
Kalau ingin mengubah hati yang sudah terlanjur keras karena lupa kepada Alloh, bagaimana caranya?
Bukan kalau dan bukan dikira- kira dan bukan perkiraan. Sudah pasti caranya dengan meletakkan kalimah dzikir/kalimah Alloh ke dalam hati. Hanya itu obatnya dan tidak ada yang lain.
Seseorang bertanya kepada Syekh Abdul Wahhab al-Sya roni tentang dirinya mengenai kekerasan hatinya. Lalu beliau menjawab, mendekatlah ke tempat-tempat dzikir/majlis-majlis dzikir.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya dzikirlah yang paling cepat dan tepat untuk membuka atau menghasilkan sesuatu dari segala macam ibadah. Syekh Ali al-Marsifi berkata:” Yakin telah jalan buntu para guru untuk mencari obat penyembuhan penyakit yang ada pada diri muridnya yang berupa kotoran jiwa, tidak menemukan obat yang paling cepat mengembalikan hati mereka agar seperti fitrah/ asal kejadian, selain dzikir kepada Alloh yang mudawamah dan kekal. Karena ketetapan dzikir untuk membersihkan hati adalah seperti ketetapan krikil untuk membersihkan tembaga. Insya Alloh dapat bersih tapi entah waktunya kapan. Dan perlu diketahui bahwasanya seseorang tidak akan sampai kepada Alloh terkecuali dengan dzikirnya. Seperti kita menelpon dari Ciamis ke Jakarta. Box hpnya digenggam dengan tangan dan tidak dilempar ke Jakarta. Yang harus sampai ke Jakarta adalah suaranya. Sedangkan suara itu tidak akan ada apabila kosong di dalamnya/ pulsanya. Dan untuk mengisikan pulsa itu, ada titik-titik yang harus dipijit, tentunya yang sesuai dengan aturan. Kalau tidak mau menurut aturan, terserah anda. Sabda Rasul demikian:
انْ لَمْ تَسْتَحِ افْعَلْ مَا شِئْتَ (الحديث
النبوى)
Artinya: “Jika kamu tidak punya rasa malu, kerjakanlah semau kamu!”
Hadits ini mengusir orang yang bergengsi gede-gedean. Padahal lapar, padahal haus, apabila dibiarkan kelaparan dan kehausan, coba rasakan sendiri. Bayangkan, Nabi pun sampai melepas siapa saja yang suka bergengsi atau berpura-pura.