Iftiroq Dan Ikhtilaf

Oleh: Sambas M Nasir & Ayi Abdul Jabbar

Beberapa tahun ke belakang, penulis sempat terhenyak kaget bercampur prihatin tatkala menyaksikan secara langsung adanya adu jotos antara dua kelompok anak muda yang terjadi di gedung dakwah di satu kabupaten di Jawa Barat yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar baik moril maupun materil diantara keduanya. Kalau saja yang adu jotos itu adalah dua kelompok anak-anak jalanan atau para jagoan terminal misalnya, mungkin kita tidak heran dibuatnya. Tetapi ini benar-benar sangat memalukan karena dilakukan oleh orang-orang yang nota bene merupakan kelompok yang terpelajar bahkan tidak buta akan ilmu-ilmu agama. Pangkal keributan diantara mereka sebenarnya berawal dari perbedaan pendapat yang berkaitan dengan tata cara ibadah. Sayangnya, mereka lebih memilih cara-cara syetan dalam menyelesaikan persoalan tersebut yaitu dengan hawa nafsu dan bukan metode Alloh dan Rosul-Nya yang dipakai apabila menghadapi sebuah persoalan yaitu dengan cara hikmah dan bijak berdasarkan al Qur’an dan Hadits.

Subhanalloh, sungguh sangat bijak Syaikh Abdulloh Mubarok bin Nur Muhammad dalam menyikapi masalah perbedaan pendapat yang kerap muncul di antara sesama muslim. Dalam wasiatnya, beliau mengingatkan kepada murid- muridnya agar: “Jangan benci kepada ulama yang sejaman, jangan menyalahkan ajaran orang lain, jangan memeriksa murid orang lain, jangan berhenti mengerjakan kebaikan mesti dicaci dan dihina serta harus menyayangi orang yang membenci kepadamu”. Dengan hal itu, alhamdulillah sebagai murid beliau, para ikhwan telah mempunyai rambu-rambu dalam menyikapi perbedaan pendapat diantara sesama muslim.

Perbedaan pendapat bukanlah fenomena yang baru muncul di millenium ketiga ini. Namun ia adalah wacana yang telah ada sejak generasi terbaik Islam. Namun di antara mereka tidak saling hujat, saling caci atau siap dengan palu godam masing-masing untuk memvonis siapapun yang berbeda pendapat dengan mereka selagi masing-masing berpegang kepada dalil yang dianggap tepat.

Seiring dengan putaran roda sejarah datanglah suatu generasi yang gegabah, ceroboh dan lancang dalam bersikap. Mereka tidak bisa membedakan mana ikhtilaf (beda pendapat) dan mana iftiraaq (perpecahan), asalkan berbeda dengan mereka dengan rasa bangga mereka melakukan sikap bara’ah (berlepas diri), ‘adawah (permusuhan) dan tahdzir (mengingatkan manusia untuk menjauhi rivalnya). Walhasil, kita harus menelan pahitnya kelemahan, retaknya persaudaraan, suburnya perdebatan dan pudarnya amalan dan permusuhan sesama saudara seiman. Akibatnya, musuh-musuh yang dahulu gentar menjadi arogan sedangkan kita yang dahulu gagah menjadi kalah. Demikian terus berlanjut sampai pada zaman dimana hari ini kita masih harus menelan kehinaan dengan jatuhnya kewibawaan di mata musuh-musuh kita.

Adalah maklum manakala retaknya hubungan tersebut lantaran satu diantara kedua kelompok terjerat ke dalam satu di antara firqah sesat, namun alangkah ironi jika ternyata pemicunya adalah perbedaan yang bersifat ijtihadi dan masing-masing mengikuti ulama mujtahid yang dapat dipercaya. Di sinilah urgennya memahami perbedaan antara ikhtilaf dan iftiraaq. Kerancuan dalam memahami perbedaan dan batas antara keduanya menjadi fatal karena keduanya memiliki konsekuensi yang jauh berbeda. Perbedaan Iftiraaq dan Ikhtilaf Diantara perbedaan yang menyolok antara iftiraaq dan ikhtilaf adalah:

Pertama, iftiraaq terjadi pada permasalahan yang prinsip, yakni masalah ushuluddin yang tidak boleh diperselisihkan. Yakni yang telah ditetapkan oleh nash qath’i, ijma’ atau sesuatu yang telah disepakati ulama sebagai manhaj Ahlus Sunnah. Seperti wajibnya berpegang kepada Al Qur’an dan As Sunnah, Al Qur’an adalah kalamullah, arkanul iman ada enam, arkanul Islam ada lima, arkanul Ihsan ada satu dsb. Sedangkan ikhtilaf terjadi pada perkara- perkara furu yang membuka peluang untuk berijtihad dan bukan masalah ushuluddin. Termasuk pula perkara-perkara ushuluddin yang diperselisihkan para ulama tentang rinciannya sekalipun telah disepakati secara mujmal (global). Seperti peristiwa Isra’ Mi’raj yang disepakati akan terjadinya namun beberapa bagian diperselisihkan seperti bagaimana Rosululloh melihat Alloh. Maka ini masih dikategorikan sebagai ikhtilaf.

Kedua, iftiraaq berpangkal dari bid’ah sedangkan ikhtilaf berpangkal dari kesalahan mujtahid yang tulus dalam berijtihad. Sebagai contoh, kelompok manusia yang menolak sifat-sifat Alloh adalah gambaran dari firqah sesat karena keyakinan tersebut bid’ah, bertentangan dengan apa yang telah disebutkan oleh nash-nash qath’i dan menyelisihi ijma’ salaful ummah. Berbeda halnya dengan hasil ijtihad terhadap perkara aktual yang belum terjadi pada masa yang lampau, tatkala didapatkan hasil istinbath (kesimpulan) menjadi dua pendapat di kalangan ulama yang tsiqah (terpercaya) inilah ikhtilaf. Yang benar diantara dua pendapat tersebut memang satu, namun tidak mengharuskan penyebutan sesat terhadap mujtahid yang salah atau yang mengikutinya karena menyangka itulah pendapat yang benar.

Ketiga, tidak setiap ikhtilaf berujung kepada iftiraaq sekalipun sangat mungkin hal itu terjadi yakni ketika ikhtilaf tersebut diperuncing oleh para pelakunya kemudian diberlakukan karenanya sifat bara’ah (berlepas diri). Saling caci, saling menjatuhkan dan saling tahdzir atau ketika masing-masing melampaui batas dalam mensikapi ikhtilaf. Menyikapi Ikhtilaf Di Kalangan Ulama Menguasai seluruh seluk beluk hukum Islam, kandungan seluruh ayat Al Qur’an, mengetahui seluruh sabda Nabi dan segala tindak- tanduknya secara rinci, detik demi detik sepanjang kehidupan beliau bukanlah perkara yang mudah. Dan para ulama bahkan sahabat tidaklah memiliki sifat maksum (terjaga kesalahan). Adalah wajar manakala kita dapatkan adanya perbedaan pandangan dan keragaman fatwa dalam suatu permasalahan. Kenyataan inilah yang disadari oleh para penghulu ulama kita dan murid-murid yang dibimbing

angsung oleh Rosululloh Saw yakni para sahabat beliau. Tak terkecuali manusia terbaik setelah mabinya, orang yang paling dekat dan paling faham dengan seluk beluk Rosululloh Saw yakni Abu Bakar. Tatkala beliau ditanya oleh seorang nenek tentang hak warisnya beliau menjawab yang artinya, “Sepertinya menurut kitabulloh engkau tidak mendapatkan bagian, begitupula menurut sunnah Rosululloh saw, tapi saya akan tanyakan dahulu kepada para sahabat nabi yang lain”. Kemudian beliau bertanya kepada sahabat yang lain, lalu bangkitlah Mughirah bin Syubah yang mengatakan “Menurut sunnah Nabi dia mendapatkan bagian seperenam”. Begitupula dengan sahabat utama yang lain seperti Umar, Utsman dan Ali, mereka tidak merasa bahwa tak satupun hadits yang tercecer darinya dan mereka sadar bahwa sangat mungkin ada sunnah yang tercecer dari mereka namun diketahui oleh sahabat lain sekalipun tingkat keilmuannya tidak selevel dengan mereka. Mengapa Terjadi Ikhtilaf di kalangan Ulama ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, di antaranya: Pertama, tidak setiap ketetapan nabi atau tingkah laku nabi sampai kepada seluruh ‘ulama. Terkadang ada beberapa ‘ulama mendengarnya namun yang lain tidak. Sebagai contoh, sebelumnya Umar berpendapat bahwa seorang wanita tidak berhak mewarisi diyat suaminya dan diyat harus dikembalikan kepada yang membayarnya. Namun kemudian datang Adh Dhaqaq bin Sufyan ra yang memberitahu bahwa Rosululloh saw memberikan hak waris kepada istri Al Usyaim Adh Dhibaabi ra dari diyat suaminya. Maka Umar berkomentar, “Jika sekiranya engkau tidak datang tentulah sudah kami fatwakan sebaliknya.”

Diriwayatkan pula bahwa suatu kali Umar sedang safar, tiba-tiba angin berhembus kencang. Beliau lantas bertanya, Siapa yang dapat menceritakan hadits tentang angin? Abu Hurairah bertutur, “Ketika itu aku berada di belakang namun mendengar pertanyaan tersebut maka aku cepatkan kendaraanku hingga mencapai kendaraan beliau, lalu aku ceritakan hadits nabi tentangnya yakni do’a Rosululloh saw”:

اللَّهُمَّ أَنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْهَا وَخَيْرَ مَاوشرما أَرْسَلْتَ بِهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرْهَا زرفِيهَا وَشَرَمَا أَرْسَلْتَ به

Artinya: “Ya Alloh, aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau utus dengannya dan aku memohon perlindungan kepada- Mu dari keburukannya dan keburukan apa yang ada di dalamnya dan keburukan apa yang Engkau utus dengannya”. (HR. Muslim)

Kedua, persepsi mereka tentang suatu perkara yang rinci terkadang berbeda sekalipun secara mujmal (global) mereka sepakat. Sebagai contoh, para ulama sepakat bahwa secara umum sahabat wajib untuk diikuti. Akan tetapi sejauh mana tingkat kewenangan atau kehujahannya ada perbedaan secara rinci. Sebagai contoh, Imam Malik lebih mengutamakan amal ahli Madinah (kebiasaan yang dikerjakan oleh penduduk Madinah) daripada hadits ahad, alasannya karena Madinah adalah tempat tinggal Nabi, dan apa yang menjadi kebiasaan sahabat maupun tabi’in di Madinah tentulah merupakan kebiasaan Nabi. Alangkah mustahil (menurut beliau) kebiasaan mereka bertentanga dengan kebiasaan Nabi. Belias menganggap hal itu sebagai riwaya dari jama’ah ke jamaah sedangkan hadits ahad adalah riwayat dari person ke person. Namun ulama lain tidaklah berpendapat demikian.

Ketiga, adanya perbedaan tentang penilaian ketsiqahan perawi ataupun tingkat keshahihan suatu hadits. Seorang ulama melihat suatu hadits shahih namun ulama lain memandang ada cacatnya

Kempat, ada yang mengamalkan dalil umum ada pula yang mengamalkan dalil khusus. Seperti kisah tatkala Nabi mengirim utusan ke Bani Quraidzah beliau bersabda yang artinya, “Janganlah salah seorang diantara kalian shalat Ashar melainkan setelah sampai di Bani Quraidzah.”

Namun waktu Ashar hampir habis sementara mereka belum sampai ke Bani Quraidzah maka ada diantara mereka yang shalat Ashar sebelum sampai di sana, ada pula yang shalat setelah sampai di tujuan. Dalam hal ini ada yang berpegang kepada kepada keumuman sabda beliau (tentang shalat pada waktunya), ada yang menggunakan dalil khusus tentang bolehnya shalat di luar waktunya karena tuntutan seperti keadaan riwayat di atas Menghormati Ulama Dan Tunduk Terhadap Dalil

Sikap ceroboh dan gegabah sangat nampak pada orang-orang yang dangkal ilmunya dan besar dorongan nafsunya. Ada orang- orang picik yang memandang remeh para ulama dan berkata, “hum rijaal wa nahnu rijaal” Mereka laki-laki dan kita pun laki- laki, mereka bisa berfatwa kitapun boleh berfatwa atau kalimat mereka, “tidak usah pakai ulama- ulama segala karena kita hanya diperintahkan untuk mengikuti Qur’an dan Sunnah” Inilah “Kalimatu al haq uriida bihaa al bathil” (ucapan yang sepertinya memiliki maksud benar tetapi salah). Mereka itulah tipe orang- orang yang tidak memahami kedudukan para pewaris nabi.

Di sisi lain ada pula yang melewati batas terhadap ulama tertentu. Mereka lontarkan berbagai sanjungan, pujian dan berbagai atribut kesempurnaan terhadap ulama idolanya dan menerima total apapun yang menjadi wejangannya. Sebaliknya terhadap ulama lain mereka memandang sebelah mata dan yang nampak adalah serba kurang serta menolak apapun yang datang dari mereka. Memang melalui dua pintu inilah syetan memalingkan manusia dari kebaikan apapun yakni dengan tafrith (meremehkan) dan terkadang dengan ghuluw (berlebih-lebihan).

Adapun sikap ahlus sunnnah adalah sebaik-baik sikap yakni bersikap tawasuth (pertengahan) dan proporsional.

Pertama, mereka menghormati para ulama, mentaati mereka karena Alloh dan tarahum (memintakan rahmat Alloh terhadap mereka) sebab mereka adalah pewaris para nabi dan kalaulah bukan karena ulama niscaya manusia seperti binatang. Terhadap kesalahan-kesalahan mereka semoga Alloh SWT memaafkan mereka karena tak seorangpun ma’shum (terbebas dari kesalahan) selain para nabi. Lagi pula, usaha atau fatwa mereka tidak lepas dari dua kemungkinan sebagaimana hadits Rosululloh Saw yang artinya, “Apabila seorang mujtahid berijtihad lalu benar maka baginya dua pahala dan apabila dia berijtihad lalu hasilnya salah maka baginya satu pahala.” (HR. Bukhari)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Sesungguhnya ahlus sunnah mengikuti Rosululloh Saw, mereka iltizam terhadap kebenaran dan tetap menyayangi orang-orang yang berbeda pendapat di antara mereka dalam masalah jihad karena Alehi dan udzur”.

Kedua, terkadang kita harus meninggalkan pendapat sebagian mereka sebagai konsekuensi kita tunduk terhadap firman Alloh SWT dan tuntutan Rosululloh Saw ketika kita melihat pendapatnya bertentangan dengan dalil yang shahih.

Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas ra tatkala ada seseorang bertanya kepada beliau lalu beliau menjawab dengan hadits Nabi namun orang itu berkata, “Tetapi Abu Bakar dan Umar berpendapat demikian”. Maka dengan marah. Ibnu Abbas berkata, “Hampir- hampir hujan batu menimpamu dari atas langit, aku sampaikan kepadamu, Rosululloh Saw bersabda…namun kamu tetap menyanggah tapi Abu Bakar dan Umar berpendapat begini…?”. Maka terhadap ikhtilaf yang terjadi di kalangan ulama kita memilih mana yang lebih kuat dan lebih pas dengan dalil-dalil, karena tempat kembali setiap perbedaan adalah Al Qur’an dan Sunnah Rosululloh Saw. Alloh SWT berfirman dalam

An Nisaa’: 59:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوم الآخر ذَلكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya: “… Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Iftiraaq dan Bagaimana Menyikapinya telah kita sebutkan diatas bahwa iftiraaq terjadi dalam perkara-perkara prinsipil yang tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin berbeda pendapat tentangnya. Seorang ulama besar berkata, “Ketahuilah semoga Alloh SWT memberikan taufik kepada anda bahwa masalah-masalah yang telah disepakati oleh para ulama tidak selayaknya terjadi perselisihan tentangnya, adapun perkara-perkara ijtihadiyah sebagaimana telah dimaklumi tidak boleh mengingkari/mencegah orang yang mengerjakan sesuatu berdasarkan ijtihad seorang ulama dalam masalah ijtihadiyah”

Tentang hal ini Rosululloh saw bersabda:

افترقت اليَهُودُ عَلَى احْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةًو افتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى اثْنَيْنِ وَسَبْعِينَفرقة ، وَسَتَفْتَرَقَ هَاذِه الامة عَلَى ثلاثوسَبْعِينَ فِرْقَة كلها فِي النَّارِ الا واحدة وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وهي الجماعة

Artinya: “Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan dan Nasrani terpecah menjadi 72 golongan dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semua di neraka kecuali satu golongan yaitu Al Jama’ah (orang yang mengikuti Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai pedoman hidupnya)”

Hadits yang senafas dengan itu banyak diriwayatkan oleh para ulama hadits seperti Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah dan lain-lain.

Iftiraaq memang telah menjadi ketetapan, namun tidak boleh dengan alasan tersebut kemudian kita biarkan perpecahan terjadi atau kita menerima dengan keadaan yang ada. Justru hadits tersebut sebagai ancaman bagi mereka yang memisahkan diri dan menyelisihi jalannya Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang nabi tafsirkan dalam riwayat lain yang artinya, “Jalan yang aku tempuh dan juga para sahabat ka Arabia

Penyebab Timbulnya Iftiraaq Ada banyak hal yang melatarbelakangi munculnya ,farqah-firgah yang menyimpang diantaranya adalah:

Konspirasi dan makar musuh- musuh Islam baik dari kalangan Yahudi, Nasrani maupun kaum Musyrikin. Alloh SWT berfirman dalam Al Bagoroh ayat 120

ولن ترضى عَنْكَ اليَهُودُ وَلَا النَّصَارَىحتى تبع ملتهم

Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka…”

Para gembong ahlul ahwa’ yang berusaha mengeruk keuntungan duniawi dengan cara memproduk bid’ah-bid’ah dalam agama.

Al Jahl (kebodohan). Orang yang bodoh telah menyebabkan manusia menyangka keburukan sebagai suatu kebaikan dan sebaliknya. Kebodohan pula yang menjadikan seseorang melihat bid’ah sebagai sunnah dan sebaliknya. Sehingga orang-orang yang bodoh namun diikuti merupakan potensi akan munculnya bid’ah yang menyesatkan.

Tidak memahami kaidah- kaidah dalam berbeda pendapat. Bisa jadi hal ini bermula dari perbedaan ijtihadiyah, namun karena kepicikan masing-masing hal itu dapat meruncing dan menimbulkan perpecahan, permusuhan dan bahkan saling memerangi.

Ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama. Dia merasa belum puas dengan tuntunan yang ada, lalu mereka memperberat dirinya dengan syari’at-syari’at made in sendiri atau buah karya nenek moyangnya.

Ta’ashub terhadap kelompoknya. Inilah yang diperingatkan oleh Alloh SWT dalam Ar Ruum ayat 31 dan 32:

وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ * مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلِّ حِزْبٍبِمَا لَيْهِمْ فَرِحُونَ

Artinya: “…dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Alloh, yaitu orang- orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”

Dan sebab-sebab lainnya yang semoga Alloh menjaga kita dari cobaan tersebut. Tidak ada jalan lain untuk mencegah terjadinya perpecahan atau mengobati perpecahan selain dengan bersepakat di atas jalan yang telah dilalui oleh Rosululloh Saw dan para sahabatnya radhiyallohu ‘anhum dalam seluruh aspek serta menyeru manusia kepada-Nya. Wallohu A’lam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *